Sabtu, 30 Januari 2016

merbabu take 2


Merbabu Take 2

1001 tanam pohon di Gunung Merbabu, sebuah acara yang diselenggarakan untuk umum dan gratis. Bagiku, acara seperti ini menjadi sebuah acara yang memberikanku suatu kesempatan untuk mendaki gunung itu lagi dan suatu kesempatan untuk mengenang masa yang telah sirna. Rinduku terhadap merbabu juga rinduku terhadap masa itu. masa dimana cinta nampak begitu jelas. Masa yang membuatku terasa hangat sepanjang waktu hingga rasanya diriku ini tak ingin kehilangan hal yang berharga seperti ini. Namun, kita tidak tahu dengan masa mendatang dan kenyataan yang akan terjadi nantinya. Cinta yang telah nampak dengan keagungannya harus tenggelam dengan kehancurannya. Aku selalu mengingat setiap kenangan bersamanya, namun kenangan itu juga membuatku tersiksa rasanya. Karena itu aku ingin melepaskan semua.


Tolong hapuskan rasa yang menancap ini
Cinta yang telah hancur
Meleburlah tanpa sisa
Hilanglah bagai buih dilautan
Janganlah kau kembali walau hanya sedetik

Namaku Ira Ariyanti, aku seorang siswi kelas dua sekolah menengah atas. Sekarang ini sedang liburan sekolah, dan selama liburan ini aku akan menghabiskan waktu liburan dengan jalan-jalan. Apalagi ada tanam pohon di Gunung Merbabu, ini kesempatanku untuk keluar dari rumah dan mengenang tempat. Kak Burhan, ada acara tanam pohon di Merbabu. Ayo ikut !. ajakku dalam sebuah pesan.
Kapan Dek ?.
Minggu depan.
Oke. Siapa aja yang ikut ?.
Aku, Ida, Ana, Dewi, Kak Tyo, Arif, Kak Burhan sama dua temannya Arif. Terangku.
Udah nyiapin semua barang bawaan belum ?.
Belumlah Kak.
Oke. Tak sewakan perlengkapannya. Nanti keperluan makan kamu sama temen-temen ya.
Siap laksanakan.
Kak Burhan ini seperti induk yang menanggung keperluan pokok kami. Kami akan berangkat jumat sore nanti dan pulang pada hari minggu. Aku menunggu Kak Burhan menjempuku di toko ibuku. Saat ia datang dikejauhan, aku melambai tangan sebuah isyarat aku disini. Bersiap, minta restu orang tua dan jalan. Hal yang paling membuatku jenuh adalah menunggu. Hampir dua jam kami menunggu teman-teman. Membosankan.
Setelah beberapa saat, akhirnya kami menuju rumah tanteku di Magelang. Namun harus menjemput Ida terlebih dahulu di Secang. Jauh sekali. Aku ke Magelang dengan Kak Tyo, Ana dengan Arif, Dewi Dengan Farkhan dan nanti Kak Burhan dengan Ida. Saat sampai dirumahnya Ida di Secang, Ida dan Kak Tyo langsung bagaikan bunga dan kumbang yang saling melepas rindu, sedangkan aku sendiri lagi.
Malam bercampur rintikan hujan yang tak begitu derasnya. Masih kami terjang agar sampai pada tujuan utama. Keramaian memenuhi jalan dengan suasana dingin yang merasuk lewat pori-pori. Setelah begitu lama perjalanan, kami semua sampai di kediaman tanteku, dulu saat ke gunung itu juga menginap di rumah ini. Rasanya seperti mengenang walaupun beda rumah.
Makan malam dengan mie rebus ditambah hangatnya kopi. Rasanya aneh saja dikeliling mereka ini, walaupun rumah ini penuh dengan penghuni tetapi aku bak sendiri tanpa pasangan. Bagaimana tidak, Ana dengan Arif bak sepasang kekasih walaupun mereka hanya berteman, Kak Burhan dan Dewi serta Farkhan bergantian bersama. Aku ? bersama sanak keluarga saja. Apalagi Ida sama Kak Tyo, rasanya benar-benar sesak melihat mereka bersama dalam hening ruangan yang menangkan. Entah mengapa, rasanya sesak seperti tertancap sebuah duri kecil dihati. Kecil namun perih. Aku juga bingung dengan tingkahku ini, aku marah atau cemburu ?. Aku melihat mereka bagai sepasang kekasih baru. Kumbang dan bunga. Bulan yang melengkapi bintang. Aku merasa gejolak dihati ini, rasa ini seperti es campur yang memiliki banyak rasa. Mungkin aku cemburu. Bahkan saat aku mau terlelap, masih terdengar lirihan percakapan mereka yang semakin perih bagiku. Air mengalir pelan dari kedua mata ini. Membasahi pipi yang tak indah karena asinnya air mata. Semoga Ida sahabat terbaikku itu tak mengetahuinya, hanya aku dan Allah SWT yang tahu akan keadaan yang kurasakan ini. Aku tak ingin sahabatku itu merasa sedih dengan hal ini. Bagiku, jika ia bahagia aku juga akan bahagia untuk untuknya. Tak peduli seberapa sakitnya melihat kenyataan, aku akan selalu bisa tersenyum untuk mereka.
Esoknya, kami bersiap undah menuju basecamp Gunung Merbabu vie Wekas. Jalur yang sama dengan dengan jalur yang pernah kulewati. Mandi dan serapan kami lakukan. Sarapan dengan mie rebus lagi, bak hari tanpa mie serasa tak lengkap.
besok pulangnya kesini dulu apa langsung ke rumah Ra ? “ tanya Omku.
sepertinya langsung pulang Om. “ jawabku mengira-ira.
kesini aja dulu kalau kecapekan. “
ya coba lihat besok aja Om. Jawabku lagi.
Segera kami keluarkan empat motor kami yang akan membawa kami ke basecamp.
Ra, kita gantian dong. Kamu sama Kak Burhan. “ bisik Ida ke telingaku. Aku tersenyum geli mendengar kalimat itu. ternyata begitu.
maaf Da, sepertinya tidak bisa. Aku kan bawa carier, nanti kalau aku sama Kak Burhan yang kalian dia lah. Tolakku tanpa menyakiti perasaannya, semoga begitu. Aku tahu perasaannya, apalagi setelah malam kemarin. Kami saling jujur dengan perasaan kami. Dan jujur saja, setelah saat itu aku sadar rasa sukaku pada Kak Tyo hanya sekedar angin berlalu seperti saat aku suka dengan Iwan teman sekelasku. Aku menolak permintaan temanku ini karena memang kenyataannya begitu, Kak Burhan juga bawa carier yang besar. Aku pun juga membawanya, kalau keduanya ada pada satu motor yang sama maka... entah apa yang terjadi nanti.
Matahari bersinar bagaikan bolam emas menyinari dunia. Suasana yang bak mendukung perjalanan kami menuju basecamp. Beda halnya dengan dulu, dulu harus disambut dengan rintikan air dari awan kelabu. Setiap perjalanan kuingat dan kenang selalu, serta berharap bisa meninggalkannya disana juga. Lelah hati ini terus meletakkan kenangan yang pernah kujalani didalam hati. Jadi, kupastikan setelah turun dari Merbabu nanti aku telah meninggalkan jejaknya disana.
“ aduh Ra.. motornya gak kuat ! “ ujar Kak Tyo saat menanjak jalan di dalam hutan pinus menuju basecamp. Aku turun dari motor, sepertinya aku harus pemanasan dulu dengan jalan kaki ditamnah denga carier yang kugendong dipunggungku.
ayo Kak, tak bantu dari belakang. “ kataku sambil mendorong motornya.
aku salah bawa motor ini ! “ ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataannya. Kalimat itu.. sama halnya yang diucapkan oleh laki-laki itu. Kenapa kalimat itu muncul kembali ditempat ini dalam situasi yang sama ?.
duluan aja Ra... “ lanjutnya.
gak mau ! “
tak bawain cariernya, kamu bawa ranselku aja ! “ lanjutnya lagi. Sebenarnya aku tak tega, tapi ya baiklah. Kami bergantian membawa tas, tapi aku tetap menunggunya. Hingga diatas yang masih tanjakan, ada seorang Bapak menawarkan diri untuk membantu mengantarku dan membawa cariernya.
iya Pak, gadis ini aja ! “ ujar Kak Tyo ringan. Terpaksa aku meninggalkan Kak Tyo dibelakang. Maaf Kak. Sampainya di basecamp aku melihat teman-teman.
terima kasih Pak “ ucapku kepada Bapak tersebut. Aku menghampiri Ida tengah duduk di bangku yang terbuat dari kayu dan mengotak-atik handphone-nya itu. ia melihatku dengan heran. “ Kak Tyo mana ? “ tanyanya.
ada dibelakang, motornya gak kuat. “ jawabku.
kenapa kamu tinggal ? “ tanyanya yang terdengar sebal namun dengan wajah yang sendu dan terlihat sedih. Aku tahu apa yang Ida rasakan. Sedangkan aku hanya bisa berkata “ maaf.. “ walaupun aku juga merasakan apa yang ia rasakan jugaa. Ida memberikanku sebuah label tanam pohon yang tertuliskan namaku denga spidol warna hitam. Saat aku membalikkan badan, Kak Tyo terlihat dimataku. Serentak Ida menghampiri laki-laki itu saat ia melihatnya. Rasanya aneh. Dengan anggun Ida memberikan beberapa benda. Label tanam pohon, stiker dan pita warna kuning. Bahkan ditempat inipun mereka bak lem lengket. Sebal rasanya melihatnya. Sekarang aku cemburu apa yang Kak Tyo dapatkan dari temanku Ida, perhatian. Sepertinya sekarang aku berada pada nomor dua setelah Kak Tyo.
begitulah... kalau sedang jatuh cinta lupalah ia terhadap temannya. “ sindirku yang teringat dari sebuah postingan wowfakta. Ya sepertinya memang benar. Saat sedang jatuh cinta terhadap seseorang, maka biasanya orang tu melupakan atau mengesampingkan temannya. Aku marah dalam diam. Jika menurut Ida aku berdeba, maka aku berbeda karena dia. Aku tak suka ini, mentang-mentang sedang menyukai seseorang aku pun jadi teracuhkan. Biarlah.

Kami mengambil bibit pohon dan segera berangkat mendaki Gunung Merbabu yang terlihat gagah. Inilah waktunya aku mengingat kembali semua. Sebelum benar-benar mendaki, kami membaca doa terlebih dahulu. Tak lupa kami selalu memanjatkan doa dan puji syukur kepada-Nya atas segala limpahan yang telah Ia berika kepada kami. Langkah demi langkah kami tapakkan ke tanah yang meninggi ini. Kami menemukan tempat ang cocok untuk kami tanam, kecuali Kak Tyo dan Ida. Kugali tanah yang dekat dengan pohon yang telah roboh, berharap nantinya bibit pohon yang kutanam ini dapat menggantikan pohon yan telah roboh tersebut. Kami daki kembali menyelusuri jalan setapak ini. Tak lama, Kak Tyo dan Ida menanam pohon mereka dipinggir jalan setapak ditanjakan. Berdekatan pula, kalau menurutku nantinya bibit itu ketika telah menjadi pohon besar malah menghalangi karena berdekatan ditambah dipinggir jalan. Akarnya akan saling berebut nutrisi dalam tanah, walaupu mungkin juga akan menambah kokohnya tanah agar tidak runtuh.
Lagi-lagi temankuku Ida tidak bisa melihat megahnya Merbabu dari puncaknya. Ia dan Kak Tyo harus pulang ke rumah. Walaupun Ida tak bisa mendaki bersamaku namun pastinya ia juga senang bisa bersama dengan Kak Tyo pulang bersama. Kami semua saling berpamitan.
Kak Tyo tolong jaga Ida untukku. Ida tolong lupakan aku. “ ujarku yang sedikit menyindir untuk Ida jangan lupakan aku disaat kau sedang bahagia bersamanya.

Meski kini hatimu bukan untukku lagi
Meski kenyataan sepahit ini
Aku percaya masih ada pemanisnya
Masih ada jalan untuk keluarnya

Kak Burhan, Dewi, Ana, Farkhan, Arif dan aku melanjutkan perjalan menuju sebuah tujuan. Ribuan langkah kami tapakkan di jalan setapak meninggi ini. Disuguhi oleh pohon-pohon dan rerumputan hijau yang ada dikanan kiri kami dengan udara segar yang terhirup oleh hidung kami. Kunikmati kenangan yang pernah terjadi disini. Sebuah peristiwa yang spesial dihati ini. Peristiwa yang menusuk hati dan berdarah air mata jika aku tak kuasa menahannya.

Aku masih ingat dengan jelas. Aku masih ingat rasanya. Walaupun sekarang tempat ini sedikit tak seperti dulu. Jalan yang tak sama namun aroma yang masih sama kurasakan. Bahkan tempat dimana dulu kami mendirikan tenda. Sekarang tempat itu sedang dihuni oleh pendaki lain. Kami rehat sejanak di pos dua yang sebagai tempat untuk membangun tenda. Namun kami memiliki rencana untuk mendirikan di Watu Tulis. Tempat bebatuan yang masih berada diatas sana. Lelah pasti, namun tentu untuk mencapai sebuah tujuan membutuhkan perjuangan.

Daki dan terus mendaki. Tanpa ragu kami terus melangkah. Semakin kami menuju keatas semakin kami serasa dekat dengan tujuan. Hal yang benar-benar membuatku sakit dihati adalah hutan yang habis tebakar bulan lalu saat kekeringan atau musin kemarau sedang maraknya hingga terjadi musim yang abnormal, dimana musim kemarau lebih panjang lamanya hingga musim hujan tertunda. Pohon-pohon yang dulunya penuh dengan dedaudan hijau sekarang berubah menjadi kering ronta, tinggallah pohon tanpa hijaunya dedaunan menghias ranting-rantingnya. Gersang coklat dan rerumputan, bak seperti hutan mati.

Sampailah kami dipertigaan jalur pendakian dimana disini Watu Tulis sebagai tempat kami untuk mendirikan tenda. Tak lama, dua tenda doom telah siap dihuni dengan kemampuan kami mendirikannya. Kami habiskan waktu disini untuk mengisi perut dengan makanan dan minuman hangat yang kami bawa. Masak air terlebih dahulu tentunya. Tak hanya makan dan minum, kami juga bermain disekitar sini. Terutama Farkhan dan Arif, mereka selalu begitu. Sedangkan kami para wanita menikmati indahnya bentangan bukit-bukit dan luasnya langit yang terdapat gumpalan awan yang menggulat-gulat. Sembari menunggu kesempatan menyaksikan matahari terbenam. Aku, Dewi dan Ana duduk merapat berbenteng selimu warna cream diatas batu besar, menyaksikan detik-detik matahari yang akan ternggelam. Angin terasa dingin dan semakin kencang. Menggigil kami rasakan, namun keindahan yang tiada batas kami saksikan dengan kedua mata kami. Matahari mulai beranjak turun, tenggelam dilautan awan. Kilauannya begitu indah bagai kilauan emas. Dinginnya angin tak gentar membuat kami melihat momen-momen yang jarang kami lihat. Ini pertama kalinya, kami melihat matahari tebenam diatas gunung. Kami mencoba untuk naik ke permukaan yang lebih tinggi. Benar-benar cantik, rombongan awan seakan menjadi sebuah tingkatan dan batas. Langit yang berwarna jingga kemerahan membuat kami tak lengah mengamatinya dan mengabadikan momen seperti ini.

Hari semakin menjelang malam. Dingin bertambah bergejolak, bagai badai dilautan lepas. Kami semua berada didalam tenda untuk sebuah kehangatan. Namun, kehangatan tak berpihak untukku dan Kak Burhan. Kami harus bertahan dalam dinginnya malam bagai badai didalam tenda berdua. Aku tahu ini tak pantas dan berbeda dengan rencana. Selalu berbeda. Dewi, Ana, Farkhan dan Arif berada didalam tenda yang sama. tinggallah aku dan Kak Burhan yang melawan dinginnya angin malam. Aku selalu melihat jam tanganku, berharap waktu lebih cepat menunjukkan pukul dua untuk mendaki menuju puncak.
Naik munggah kepuncak pucuk
Tinggi duwur sekali banget
Kiri kanan kulihat saja
Banyak kenangannya...

Kubuka kedua mata. Kulirik jam yang melingkar ditangan kiriku. Pukul dua pagi. Akhirnya jarum jamnya menunjukkan angka dua. Serentak aku bangun dan membangunkan yang lain. Kulihat langit begitu cerah, bulan bersinar terlalu terang sehingga langit begitu nampak biru dengan bintang-bintang yang menghiasinya. Alangkah indahnya, namun dinginnya malam masih menggelunggu kami. Kupaksa mereka untuk bangun dan segera berangkat menuju puncak.
ayo bangun !! “
Mereka masih ragu untuk membuka mata.
katanya mau lihat sunrise, ayo bangun ! gak pake lama ayo berangkat ! “ lanjutku.
dingin Ra.. bentar lagi. “ keluh Ana yang masih berada dibalik selimut.
lebih kedinginan aku sama Kak Burhan di tenda sana. Ayo ! “ ujarku dengan menyita sleepingbag mereka yang dijadikan selimut. Akhirnya mereka bangun. Kami segera bersiap dengan perlengkapan yang dibutuhkan saat perjalanan.
permisi mbak, ada obat magh gak ? temen saya ada yang sakit magh. “ tanya seorang pendaki laki-laki kepadaku.
waduhh Kak gak ada ik, maaf. “ jawabku sesal.
masih ada makanan gak ? roti atau apa gitu. “
oh kalau itu kami masih punya. Bentar. “ jawabku ringan. Aku tidak keberatan untuk berbagi makanan dengan oarang yang lebih membutuhkan walaupunsebenarnya bekal kami tinggal sedikit.
ini Kak. “
terima kasih mbak. “ ucap laki-laki yang umurnya lebih tua dariku jika kulihat fisiknya.
Ini dia, perjalanan pagi yang dingin. Sialnya, perutku mulas karena kebanyakan makan. Aku harus buang air besar. Dua kali aku harus buang air besar. Astaga... ini pertama kalinya aku seperti ini. Tidak. Rasanya begitu dingin walaupun aku sudah memakai jaket dan sarung tangan. Rasa dingin ini seakan menusuk dagingku. Ini berbeda dengan dahulu, dulu aku masih bisa menahan dinginnya gunung bersamanya tapi sekarang rasanya aku tak kuat menanjak keatas. Teman-teman selalu memberiku semangat untuk tetap kuat. Namun rasanya, dorongan mereka tak sekuat dorongan Kak Yaki, laki-laki yang dapat membuatku jatuh hati. Sepanjang jalan kulangkahkan perlahan. Kutahan rasa sakit yang menusuk hati akan kenangan dan dinginnya malam. Aku harus kuat. Aku harus bisa. Air mata mengalir lancar membahasi pipiku. Kenangan yang kurindukan. Kenangan yang membuatku sakit. Kuingat setiap jalan yang kulewati bersamanya. Aku ingat. Perih sekali. Sesak rasanya. Kutak bisa menghentikan tangisan diam ini. Tangisan yang menemaniku disetiap jalan dipandu oleh Kak Burhan dan yang lainnya sudah jalan keatas duluan.

Puncak Syarif. Puncak pertama yang kami tuju. Begitu ramai disini dan juga begitu dingin. Matahari belum nampak namun sudah begitu terang. Kududuk diatasa tanah dipinggir puncak. Menikmati luasnya awan yang akan menyambut matahari, begitu juga kami yang sedang menantikan sang surya meninggi.
Ra.. ayo foto ! “ ajak Ana kepadaku.
ayo kalau berani lepas jaket ! “ tantang Arif kepada kami. Tentu aku berani, aku suka tantangan. Walaupun belum tentu semua tantangan terbilang sukses olehku. Beginilah kami, tak memakai jaket dan sarung tangan. Rasa dingin semakin menusuk raga. Kami semua menyambut sang surya yang mulai nampak di ufuk timur. Matahari meninggi, bak hari baru telah dimulai. Kami tak menyia-nyiakan momen seperti ini. Kami mengambil foto sebanyak-banyaknya sebelum batrai handphone habis. Puas disini, kami menuju puncak kedua. Namun, saat dipertigaan bawah. “ aku ke tenda aja ! “ ujar Dewi. Diikuti oleh Ana, Arif dan Kak Burhan. Jadi yang ke puncak berikutnya hanya aku dan Farkhan saja dengan dua ransel sebagai bekal kami. Berdua lagi bersama laki-laki diperjalanan. Jadi terbiasa juga jadi mengenang kembali. Kami berdua dengan santai menyelusuri jalan setapak menuju puncak Ketheng Songo. Saling bercerita dalam perjalanan, saling menolong dalam perjalanan juga. Tebing yang harus dilewati dan ditanjak takkan berhasil tanpa bantuan laki-laki ini. Walaupun aku sering meminta break, ia tetap sabar menanti hingga kudapat jalan kembali. Sampainya dipuncak kedua ini, aku senang dan mengingat kembali. Walau sudah berubah dan ramai, aku masih bisa melihat bayangan masa lalu itu. aku tersenyum rindu. Kulihat dan nikmati serta kuabadikan Gunung Merapi dari disini bersama Farkhan yang dikelilingi oleh gumpalan awan putih. Cukup melihat untuk puncak ketiga dari Ketheng Songo. Farkhan mengajakku turun ke tenda. Sebelum menuruni tebing, kami makan mie terlebih dahulu. Satu bungkus mie untuk berdua sambil menikmati alangkah indahkan pemandangan yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Bercerita bersama dalam keheningan.
cie.. menikmati pemandangan bersama.. “ serentah seorang pendaki cantik yang sedang lewat menuruni tanjakan.
kita Cuma temanan kok Kak.. “ ucapku santai.
semua berawal dari teman lho.. “ ujarnya lagi dengan senyuman. Aku hanya bisa tersenyum malu, karena aku tak punya jawaban untuk menanggapinya. Ya sudahlah. Kami melanjutkan menuju tenda. Lagi-lagi kami tertahan oleh keadaan alam yang indah dipandang setalh kami telah menuruni tebing. Kami duduk santai dan bercerita tentang pengalaman kami masing-masing dipinggir jalan setapak. Menyaksikan megahnya tiga Gunung yang berjejeran. Sindoro, Sumbing dan Prau.
Ra.. ayo ke tenda. “ ajak Farkhan.
semoga aja sudah ada makanan yang menunggu kita disana. “ ujarku dengan penuh harap.
semoga. “ tambahnya.
Kami kembali diperjalanan. Menuruni jalan yang kami naiki tadi. Naik kukembali mengenang, turun juga kukembali mengenang.
Khan, kayaknya kita bisa ketempat itu jika kita lewat puncak ketiga. Apalagi sepertinya, tempat itu belum dijajah oleh pendaki lain. “ ujarku sambil menunjuk bukit panjang sana.
iya juga. Tempat yang masih asli belum diinjak oleh kaki. “
kalau ada yang mendahului pasti nanti banayk yang kesana terus rusak deh sabananya. “
iyuo betul “ ujar Fakhan terhadap pernyataanku. Selama perjalanan menuju tenda, kami seringt terpeleset. Kami selalu bilang mulai lapar jika salah satu dari kami terpeleset. Sampainya di tenda, semua habis tidur dan rehat bahkan sudah makan. Tak ada makanan sisa, kami harus membuat sendiri. Kompor dan gas kami siapkan begitu pula dua mie rebus dan 1 mie goyeng kami campurkan nanti. Beruntungnya ada agar-agar yang baru sedikit dicicipi dan buruknya persediaan air hampir habis. Kalau soal agar-agar tentu kami habiskan karena tidak ada yang memakannya lagi sedangkan soal air nanti dipos 2 kami bisa mengisinya kembali.

Semua telah ditata. Bersiap untuk turun gunung. Para laki-laki membawa carier dan para wanita membawa ransel dan sampah kami selama disini. Sampainya dipos dua, kami mengisi empat botol air minum dan melanjutkan perjalanan.
break dulu Kak. “ ujar Ana duduk diakar pohon besar.
Na.. kenapa tempat ini ? “ ucapku tak percaya dengan ini.
lha emang kenapa Ra ? “
dulu juga disini tempat rehat kami saat mau turun. “ terangku.
baper lagi dah.. “ kata Dewi.
Ya selalu begini. Aku memakai sandal coklatku, rasanya tidak enak kupakai. Akhirnya kulepas dan kutitipkan kepada Ana. Sekarang kakiku tak beralas dan bersentuhan dengan bumi langsung. Ini lebih nyaman. Diikuti oleh Farkhan yang melepas sandalnya juga. Karena kami tak memakai alas, kami melangkah cepat menuruni tanjakan. Sangat cepat hingga teman-teman lainnya berada dibelakang. Terus menuruni tanjakan, berhenti jika bertemu pendaki lain dan menyapa mereka jika kami lewat. Kadang pula kami ditanya kenapa tidak pakai alas kaki. Kami berdua terus menuruni hingga kami terhenti di pos satu yang terdapat sumber air. Segar rasanya meminum air asli dari sumber secar langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Sambil menunggu teman-teman, kami berdua rehat di pos satu ini.
Di basecamp kami sudah bersiap menuju rumah. Kaki sudah dibersihkan dan sampah juga sudah berada pada tempatnya. Rasa lega ada pada hati dan jiwaku. Kusambut dunia baru dari sini. Aku kembali kemari membawa kenangan lama dan kupulang membawa kenangan baru. Dari sini pula, aku akan berubah menjadi sosok wanita yang lebih baik lagi. Semua yang telah kau berikan kepadaku di gunung ini, aku tanggalkan juga semua di gunung ini. Terima kasih Kak Yaki atas waktumu yang pernah kau berikan kepadaku. Beban sakit yang kubawa selama ini telah kubuang dimana semua berawal. Aku tak menyesal mengenalmu, hal yang kusesali adalah kenapa aku harus memilih mencintaimu dan meninggalkan sosok laki-laki yang sebenarnya kucintai dari dulu. Hanya itu. Setelah ini aku akan tebarkan senyum seperti dulu walaupun aku telah berubah. Kubuang masa yang pernah menyakitkan hati dan terpancar sebuah harapan akan masa depan. Harapan yang akan membawaku menjadi sosok wanita yang baik. Aku percaya semua akan indah pada waktunya nanti.

Hati, jiwa dan raga
Bersatu dalam satu dunia
Harapan dan kenyataan
Tergantung usaha yang kita lakukan
Masa lalu dan masa depan
Masa yang selalu berkaitan
Masa lalu sebagai pelajaran
Masa depan sebagai harapan

selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar