Merbabu
Take 2
1001
tanam pohon di Gunung Merbabu, sebuah acara yang diselenggarakan
untuk umum dan gratis. Bagiku, acara seperti ini menjadi sebuah acara
yang memberikanku suatu kesempatan untuk mendaki gunung itu lagi dan
suatu kesempatan untuk mengenang masa yang telah sirna. Rinduku
terhadap merbabu juga rinduku terhadap masa itu. masa dimana cinta
nampak begitu jelas. Masa yang membuatku terasa hangat sepanjang
waktu hingga rasanya diriku ini tak ingin kehilangan hal yang
berharga seperti ini. Namun, kita tidak tahu dengan masa mendatang
dan kenyataan yang akan terjadi nantinya. Cinta yang telah nampak
dengan keagungannya harus tenggelam dengan kehancurannya. Aku selalu
mengingat setiap kenangan bersamanya, namun kenangan itu juga
membuatku tersiksa rasanya. Karena itu aku ingin melepaskan semua.
Tolong
hapuskan rasa yang menancap ini
Cinta
yang telah hancur
Meleburlah
tanpa sisa
Hilanglah
bagai buih dilautan
Janganlah
kau kembali walau hanya sedetik
Namaku
Ira Ariyanti, aku seorang siswi kelas dua sekolah menengah atas.
Sekarang ini sedang liburan sekolah, dan selama liburan ini aku akan
menghabiskan waktu liburan dengan jalan-jalan. Apalagi ada tanam
pohon di Gunung Merbabu, ini kesempatanku untuk keluar dari rumah dan
mengenang tempat.
Kak Burhan, ada acara tanam pohon di Merbabu. Ayo ikut !.
ajakku dalam sebuah pesan.
Kapan
Dek ?.
Minggu
depan.
Oke.
Siapa aja yang ikut ?.
Aku,
Ida, Ana, Dewi, Kak Tyo, Arif, Kak Burhan sama dua temannya Arif.
Terangku.
Udah
nyiapin semua barang bawaan belum ?.
Belumlah
Kak.
Oke.
Tak sewakan perlengkapannya. Nanti keperluan makan kamu sama
temen-temen ya.
Siap
laksanakan.
Kak
Burhan ini seperti induk yang menanggung keperluan pokok kami. Kami
akan berangkat jumat sore nanti dan pulang pada hari minggu. Aku
menunggu Kak Burhan menjempuku di toko ibuku. Saat ia datang
dikejauhan, aku melambai tangan sebuah isyarat aku disini. Bersiap,
minta restu orang tua dan jalan. Hal yang paling membuatku jenuh
adalah menunggu. Hampir dua jam kami menunggu teman-teman.
Membosankan.
Setelah
beberapa saat, akhirnya kami menuju rumah tanteku di Magelang. Namun
harus menjemput Ida terlebih dahulu di Secang. Jauh sekali. Aku ke
Magelang dengan Kak Tyo, Ana dengan Arif, Dewi Dengan Farkhan dan
nanti Kak Burhan dengan Ida. Saat sampai dirumahnya Ida di Secang,
Ida dan Kak Tyo langsung bagaikan bunga dan kumbang yang saling
melepas rindu, sedangkan aku sendiri lagi.
Malam
bercampur rintikan hujan yang tak begitu derasnya. Masih kami terjang
agar sampai pada tujuan utama. Keramaian memenuhi jalan dengan
suasana dingin yang merasuk lewat pori-pori. Setelah begitu lama
perjalanan, kami semua sampai di kediaman tanteku, dulu saat ke
gunung itu juga menginap di rumah ini. Rasanya seperti mengenang
walaupun beda rumah.
Makan
malam dengan mie rebus ditambah hangatnya kopi. Rasanya aneh saja
dikeliling mereka ini, walaupun rumah ini penuh dengan penghuni
tetapi aku bak sendiri tanpa pasangan. Bagaimana tidak, Ana dengan
Arif bak sepasang kekasih walaupun mereka hanya berteman, Kak Burhan
dan Dewi serta Farkhan bergantian bersama. Aku ? bersama sanak
keluarga saja. Apalagi Ida sama Kak Tyo, rasanya benar-benar sesak
melihat mereka bersama dalam hening ruangan yang menangkan. Entah
mengapa, rasanya sesak seperti tertancap sebuah duri kecil dihati.
Kecil namun perih. Aku juga bingung dengan tingkahku ini, aku marah
atau cemburu ?. Aku melihat mereka bagai sepasang kekasih baru.
Kumbang dan bunga. Bulan yang melengkapi bintang. Aku merasa gejolak
dihati ini, rasa ini seperti es campur yang memiliki banyak rasa.
Mungkin aku cemburu. Bahkan saat aku mau terlelap, masih terdengar
lirihan percakapan mereka yang semakin perih bagiku. Air mengalir
pelan dari kedua mata ini. Membasahi pipi yang tak indah karena
asinnya air mata. Semoga Ida sahabat terbaikku itu tak mengetahuinya,
hanya aku dan Allah SWT yang tahu akan keadaan yang kurasakan ini.
Aku tak ingin sahabatku itu merasa sedih dengan hal ini. Bagiku, jika
ia bahagia aku juga akan bahagia untuk untuknya. Tak peduli seberapa
sakitnya melihat kenyataan, aku akan selalu bisa tersenyum untuk
mereka.
Esoknya,
kami bersiap undah menuju basecamp Gunung Merbabu vie Wekas. Jalur
yang sama dengan dengan jalur yang pernah kulewati. Mandi dan serapan
kami lakukan. Sarapan dengan mie rebus lagi, bak hari tanpa mie
serasa tak lengkap.
“ besok
pulangnya kesini dulu apa langsung ke rumah Ra ? “ tanya Omku.
“ sepertinya
langsung pulang Om. “ jawabku mengira-ira.
“ kesini
aja dulu kalau kecapekan. “
“ ya
coba lihat besok aja Om. Jawabku lagi.
Segera
kami keluarkan empat motor kami yang akan membawa kami ke basecamp.
“ Ra,
kita gantian dong. Kamu sama Kak Burhan. “ bisik Ida ke telingaku.
Aku tersenyum geli mendengar kalimat itu. ternyata begitu.
“ maaf
Da, sepertinya tidak bisa. Aku kan bawa carier, nanti kalau aku sama
Kak Burhan yang kalian dia lah. Tolakku tanpa menyakiti perasaannya,
semoga begitu. Aku tahu perasaannya, apalagi setelah malam kemarin.
Kami saling jujur dengan perasaan kami. Dan jujur saja, setelah saat
itu aku sadar rasa sukaku pada Kak Tyo hanya sekedar angin berlalu
seperti saat aku suka dengan Iwan teman sekelasku. Aku menolak
permintaan temanku ini karena memang kenyataannya begitu, Kak Burhan
juga bawa carier yang besar. Aku pun juga membawanya, kalau keduanya
ada pada satu motor yang sama maka... entah apa yang terjadi nanti.
Matahari
bersinar bagaikan bolam emas menyinari dunia. Suasana yang bak
mendukung perjalanan kami menuju basecamp. Beda halnya dengan dulu,
dulu harus disambut dengan rintikan air dari awan kelabu. Setiap
perjalanan kuingat dan kenang selalu, serta berharap bisa
meninggalkannya disana juga. Lelah hati ini terus meletakkan kenangan
yang pernah kujalani didalam hati. Jadi, kupastikan setelah turun
dari Merbabu nanti aku telah meninggalkan jejaknya disana.
“
aduh Ra.. motornya gak kuat ! “ ujar Kak Tyo saat menanjak jalan di
dalam hutan pinus menuju basecamp. Aku turun dari motor, sepertinya
aku harus pemanasan dulu dengan jalan kaki ditamnah denga carier yang
kugendong dipunggungku.
“ ayo
Kak, tak bantu dari belakang. “ kataku sambil mendorong motornya.
“ aku
salah bawa motor ini ! “ ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar
pernyataannya. Kalimat itu.. sama halnya yang diucapkan oleh
laki-laki itu. Kenapa kalimat itu muncul kembali ditempat ini dalam
situasi yang sama ?.
“ duluan
aja Ra... “ lanjutnya.
“ gak
mau ! “
“ tak
bawain cariernya, kamu bawa ranselku aja ! “ lanjutnya lagi.
Sebenarnya aku tak tega, tapi ya baiklah. Kami bergantian membawa
tas, tapi aku tetap menunggunya. Hingga diatas yang masih tanjakan,
ada seorang Bapak menawarkan diri untuk membantu mengantarku dan
membawa cariernya.
“ iya
Pak, gadis ini aja ! “ ujar Kak Tyo ringan. Terpaksa aku
meninggalkan Kak Tyo dibelakang. Maaf Kak. Sampainya di basecamp aku
melihat teman-teman.
“ terima
kasih Pak “ ucapku kepada Bapak tersebut. Aku menghampiri Ida
tengah duduk di bangku yang terbuat dari kayu dan mengotak-atik
handphone-nya itu. ia melihatku dengan heran. “ Kak Tyo mana ? “
tanyanya.
“ ada
dibelakang, motornya gak kuat. “ jawabku.
“ kenapa
kamu tinggal ? “ tanyanya yang terdengar sebal namun dengan wajah
yang sendu dan terlihat sedih. Aku tahu apa yang Ida rasakan.
Sedangkan aku hanya bisa berkata “ maaf.. “ walaupun aku juga
merasakan apa yang ia rasakan jugaa. Ida memberikanku sebuah label
tanam pohon yang tertuliskan namaku denga spidol warna hitam. Saat
aku membalikkan badan, Kak Tyo terlihat dimataku. Serentak Ida
menghampiri laki-laki itu saat ia melihatnya. Rasanya aneh. Dengan
anggun Ida memberikan beberapa benda. Label tanam pohon, stiker dan
pita warna kuning. Bahkan ditempat inipun mereka bak lem lengket.
Sebal rasanya melihatnya. Sekarang aku cemburu apa yang Kak Tyo
dapatkan dari temanku Ida, perhatian. Sepertinya sekarang aku berada
pada nomor dua setelah Kak Tyo.
“ begitulah...
kalau sedang jatuh cinta lupalah ia terhadap temannya. “ sindirku
yang teringat dari sebuah postingan wowfakta. Ya sepertinya memang
benar. Saat sedang jatuh cinta terhadap seseorang, maka biasanya
orang tu melupakan atau mengesampingkan temannya. Aku marah dalam
diam. Jika menurut Ida aku berdeba, maka aku berbeda karena dia. Aku
tak suka ini, mentang-mentang sedang menyukai seseorang aku pun jadi
teracuhkan. Biarlah.
Kami
mengambil bibit pohon dan segera berangkat mendaki Gunung Merbabu
yang terlihat gagah. Inilah waktunya aku mengingat kembali semua.
Sebelum benar-benar mendaki, kami membaca doa terlebih dahulu. Tak
lupa kami selalu memanjatkan doa dan puji syukur kepada-Nya atas
segala limpahan yang telah Ia berika kepada kami. Langkah demi
langkah kami tapakkan ke tanah yang meninggi ini. Kami menemukan
tempat ang cocok untuk kami tanam, kecuali Kak Tyo dan Ida. Kugali
tanah yang dekat dengan pohon yang telah roboh, berharap nantinya
bibit pohon yang kutanam ini dapat menggantikan pohon yan telah roboh
tersebut. Kami daki kembali menyelusuri jalan setapak ini. Tak lama,
Kak Tyo dan Ida menanam pohon mereka dipinggir jalan setapak
ditanjakan. Berdekatan pula, kalau menurutku nantinya bibit itu
ketika telah menjadi pohon besar malah menghalangi karena berdekatan
ditambah dipinggir jalan. Akarnya akan saling berebut nutrisi dalam
tanah, walaupu mungkin juga akan menambah kokohnya tanah agar tidak
runtuh.
Lagi-lagi
temankuku Ida tidak bisa melihat megahnya Merbabu dari puncaknya. Ia
dan Kak Tyo harus pulang ke rumah. Walaupun Ida tak bisa mendaki
bersamaku namun pastinya ia juga senang bisa bersama dengan Kak Tyo
pulang bersama. Kami semua saling berpamitan.
“ Kak
Tyo tolong jaga Ida untukku. Ida tolong lupakan aku. “ ujarku yang
sedikit menyindir untuk Ida jangan lupakan aku disaat kau sedang
bahagia bersamanya.
Meski
kini hatimu bukan untukku lagi
Meski
kenyataan sepahit ini
Aku
percaya masih ada pemanisnya
Masih
ada jalan untuk keluarnya
Kak
Burhan, Dewi, Ana, Farkhan, Arif dan aku melanjutkan perjalan menuju
sebuah tujuan. Ribuan langkah kami tapakkan di jalan setapak meninggi
ini. Disuguhi oleh pohon-pohon dan rerumputan hijau yang ada dikanan
kiri kami dengan udara segar yang terhirup oleh hidung kami.
Kunikmati kenangan yang pernah terjadi disini. Sebuah peristiwa yang
spesial dihati ini. Peristiwa yang menusuk hati dan berdarah air mata
jika aku tak kuasa menahannya.
Aku
masih ingat dengan jelas. Aku masih ingat rasanya. Walaupun sekarang
tempat ini sedikit tak seperti dulu. Jalan yang tak sama namun aroma
yang masih sama kurasakan. Bahkan tempat dimana dulu kami mendirikan
tenda. Sekarang tempat itu sedang dihuni oleh pendaki lain. Kami
rehat sejanak di pos dua yang sebagai tempat untuk membangun tenda.
Namun kami memiliki rencana untuk mendirikan di Watu Tulis. Tempat
bebatuan yang masih berada diatas sana. Lelah pasti, namun tentu
untuk mencapai sebuah tujuan membutuhkan perjuangan.
Daki
dan terus mendaki. Tanpa ragu kami terus melangkah. Semakin kami
menuju keatas semakin kami serasa dekat dengan tujuan. Hal yang
benar-benar membuatku sakit dihati adalah hutan yang habis tebakar
bulan lalu saat kekeringan atau musin kemarau sedang maraknya hingga
terjadi musim yang abnormal, dimana musim kemarau lebih panjang
lamanya hingga musim hujan tertunda. Pohon-pohon yang dulunya penuh
dengan dedaudan hijau sekarang berubah menjadi kering ronta,
tinggallah pohon tanpa hijaunya dedaunan menghias ranting-rantingnya.
Gersang coklat dan rerumputan, bak seperti hutan mati.
Sampailah
kami dipertigaan jalur pendakian dimana disini Watu Tulis sebagai
tempat kami untuk mendirikan tenda. Tak lama, dua tenda doom telah
siap dihuni dengan kemampuan kami mendirikannya. Kami habiskan waktu
disini untuk mengisi perut dengan makanan dan minuman hangat yang
kami bawa. Masak air terlebih dahulu tentunya. Tak hanya makan dan
minum, kami juga bermain disekitar sini. Terutama Farkhan dan Arif,
mereka selalu begitu. Sedangkan kami para wanita menikmati indahnya
bentangan bukit-bukit dan luasnya langit yang terdapat gumpalan awan
yang menggulat-gulat. Sembari menunggu kesempatan menyaksikan
matahari terbenam. Aku, Dewi dan Ana duduk merapat berbenteng selimu
warna cream diatas batu besar, menyaksikan detik-detik matahari yang
akan ternggelam. Angin terasa dingin dan semakin kencang. Menggigil
kami rasakan, namun keindahan yang tiada batas kami saksikan dengan
kedua mata kami. Matahari mulai beranjak turun, tenggelam dilautan
awan. Kilauannya begitu indah bagai kilauan emas. Dinginnya angin tak
gentar membuat kami melihat momen-momen yang jarang kami lihat. Ini
pertama kalinya, kami melihat matahari tebenam diatas gunung. Kami
mencoba untuk naik ke permukaan yang lebih tinggi. Benar-benar
cantik, rombongan awan seakan menjadi sebuah tingkatan dan batas.
Langit yang berwarna jingga kemerahan membuat kami tak lengah
mengamatinya dan mengabadikan momen seperti ini.
Hari
semakin menjelang malam. Dingin bertambah bergejolak, bagai badai
dilautan lepas. Kami semua berada didalam tenda untuk sebuah
kehangatan. Namun, kehangatan tak berpihak untukku dan Kak Burhan.
Kami harus bertahan dalam dinginnya malam bagai badai didalam tenda
berdua. Aku tahu ini tak pantas dan berbeda dengan rencana. Selalu
berbeda. Dewi, Ana, Farkhan dan Arif berada didalam tenda yang sama.
tinggallah aku dan Kak Burhan yang melawan dinginnya angin malam. Aku
selalu melihat jam tanganku, berharap waktu lebih cepat menunjukkan
pukul dua untuk mendaki menuju puncak.
Naik
munggah kepuncak pucuk
Tinggi
duwur sekali banget
Kiri
kanan kulihat saja
Banyak
kenangannya...
Kubuka
kedua mata. Kulirik jam yang melingkar ditangan kiriku. Pukul dua
pagi. Akhirnya jarum jamnya menunjukkan angka dua. Serentak aku
bangun dan membangunkan yang lain. Kulihat langit begitu cerah, bulan
bersinar terlalu terang sehingga langit begitu nampak biru dengan
bintang-bintang yang menghiasinya. Alangkah indahnya, namun dinginnya
malam masih menggelunggu kami. Kupaksa mereka untuk bangun dan segera
berangkat menuju puncak.
“ ayo
bangun !! “
Mereka
masih ragu untuk membuka mata.
“ katanya
mau lihat sunrise, ayo bangun ! gak pake lama ayo berangkat ! “
lanjutku.
“ dingin
Ra.. bentar lagi. “ keluh Ana yang masih berada dibalik selimut.
“ lebih
kedinginan aku sama Kak Burhan di tenda sana. Ayo ! “ ujarku dengan
menyita sleepingbag
mereka yang dijadikan selimut. Akhirnya mereka bangun. Kami segera
bersiap dengan perlengkapan yang dibutuhkan saat perjalanan.
“ permisi
mbak, ada obat magh gak ? temen saya ada yang sakit magh. “ tanya
seorang pendaki laki-laki kepadaku.
“ waduhh
Kak gak ada ik, maaf. “ jawabku sesal.
“ masih
ada makanan gak ? roti atau apa gitu. “
“ oh
kalau itu kami masih punya. Bentar. “ jawabku ringan. Aku tidak
keberatan untuk berbagi makanan dengan oarang yang lebih membutuhkan
walaupunsebenarnya bekal kami tinggal sedikit.
“ ini
Kak. “
“ terima
kasih mbak. “ ucap laki-laki yang umurnya lebih tua dariku jika
kulihat fisiknya.
Ini
dia, perjalanan pagi yang dingin. Sialnya, perutku mulas karena
kebanyakan makan. Aku harus buang air besar. Dua kali aku harus buang
air besar. Astaga... ini pertama kalinya aku seperti ini. Tidak.
Rasanya begitu dingin walaupun aku sudah memakai jaket dan sarung
tangan. Rasa dingin ini seakan menusuk dagingku. Ini berbeda dengan
dahulu, dulu aku masih bisa menahan dinginnya gunung bersamanya tapi
sekarang rasanya aku tak kuat menanjak keatas. Teman-teman selalu
memberiku semangat untuk tetap kuat. Namun rasanya, dorongan mereka
tak sekuat dorongan Kak Yaki, laki-laki yang dapat membuatku jatuh
hati. Sepanjang jalan kulangkahkan perlahan. Kutahan rasa sakit yang
menusuk hati akan kenangan dan dinginnya malam. Aku harus kuat. Aku
harus bisa. Air mata mengalir lancar membahasi pipiku. Kenangan yang
kurindukan. Kenangan yang membuatku sakit. Kuingat setiap jalan yang
kulewati bersamanya. Aku ingat. Perih sekali. Sesak rasanya. Kutak
bisa menghentikan tangisan diam ini. Tangisan yang menemaniku
disetiap jalan dipandu oleh Kak Burhan dan yang lainnya sudah jalan
keatas duluan.
Puncak
Syarif. Puncak pertama yang kami tuju. Begitu ramai disini dan juga
begitu dingin. Matahari belum nampak namun sudah begitu terang.
Kududuk diatasa tanah dipinggir puncak. Menikmati luasnya awan yang
akan menyambut matahari, begitu juga kami yang sedang menantikan sang
surya meninggi.
“ Ra..
ayo foto ! “ ajak Ana kepadaku.
“ ayo
kalau berani lepas jaket ! “ tantang Arif kepada kami. Tentu aku
berani, aku suka tantangan. Walaupun belum tentu semua tantangan
terbilang sukses olehku. Beginilah kami, tak memakai jaket dan sarung
tangan. Rasa dingin semakin menusuk raga. Kami semua menyambut sang
surya yang mulai nampak di ufuk timur. Matahari meninggi, bak hari
baru telah dimulai. Kami tak menyia-nyiakan momen seperti ini. Kami
mengambil foto sebanyak-banyaknya sebelum batrai handphone
habis. Puas disini, kami menuju puncak kedua. Namun, saat dipertigaan
bawah. “ aku ke tenda aja ! “ ujar Dewi. Diikuti oleh Ana, Arif
dan Kak Burhan. Jadi yang ke puncak berikutnya hanya aku dan Farkhan
saja dengan dua ransel sebagai bekal kami. Berdua lagi bersama
laki-laki diperjalanan. Jadi terbiasa juga jadi mengenang kembali.
Kami berdua dengan santai menyelusuri jalan setapak menuju puncak
Ketheng Songo. Saling bercerita dalam perjalanan, saling menolong
dalam perjalanan juga. Tebing yang harus dilewati dan ditanjak takkan
berhasil tanpa bantuan laki-laki ini. Walaupun aku sering meminta
break,
ia tetap sabar menanti hingga kudapat jalan kembali. Sampainya
dipuncak kedua ini, aku senang dan mengingat kembali. Walau sudah
berubah dan ramai, aku masih bisa melihat bayangan masa lalu itu. aku
tersenyum rindu. Kulihat dan nikmati serta kuabadikan Gunung Merapi
dari disini bersama Farkhan yang dikelilingi oleh gumpalan awan
putih. Cukup melihat untuk puncak ketiga dari Ketheng Songo. Farkhan
mengajakku turun ke tenda. Sebelum menuruni tebing, kami makan mie
terlebih dahulu. Satu bungkus mie untuk berdua sambil menikmati
alangkah indahkan pemandangan yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Bercerita bersama dalam keheningan.
“ cie..
menikmati pemandangan bersama.. “ serentah seorang pendaki cantik
yang sedang lewat menuruni tanjakan.
“ kita
Cuma temanan kok Kak.. “ ucapku santai.
“ semua
berawal dari teman lho.. “ ujarnya lagi dengan senyuman. Aku hanya
bisa tersenyum malu, karena aku tak punya jawaban untuk
menanggapinya. Ya sudahlah. Kami melanjutkan menuju tenda. Lagi-lagi
kami tertahan oleh keadaan alam yang indah dipandang setalh kami
telah menuruni tebing. Kami duduk santai dan bercerita tentang
pengalaman kami masing-masing dipinggir jalan setapak. Menyaksikan
megahnya tiga Gunung yang berjejeran. Sindoro, Sumbing dan Prau.
“ Ra..
ayo ke tenda. “ ajak Farkhan.
“ semoga
aja sudah ada makanan yang menunggu kita disana. “ ujarku dengan
penuh harap.
“ semoga.
“ tambahnya.
Kami
kembali diperjalanan. Menuruni jalan yang kami naiki tadi. Naik
kukembali mengenang, turun juga kukembali mengenang.
“ Khan,
kayaknya kita bisa ketempat itu jika kita lewat puncak ketiga.
Apalagi sepertinya, tempat itu belum dijajah oleh pendaki lain. “
ujarku sambil menunjuk bukit panjang sana.
“ iya
juga. Tempat yang masih asli belum diinjak oleh kaki. “
“ kalau
ada yang mendahului pasti nanti banayk yang kesana terus rusak deh
sabananya. “
“ iyuo
betul “ ujar Fakhan terhadap pernyataanku. Selama perjalanan menuju
tenda, kami seringt terpeleset. Kami selalu bilang mulai
lapar
jika salah satu dari kami terpeleset. Sampainya di tenda, semua habis
tidur dan rehat bahkan sudah makan. Tak ada makanan sisa, kami harus
membuat sendiri. Kompor dan gas kami siapkan begitu pula dua mie
rebus dan 1 mie goyeng kami campurkan nanti. Beruntungnya ada
agar-agar yang baru sedikit dicicipi dan buruknya persediaan air
hampir habis. Kalau soal agar-agar tentu kami habiskan karena tidak
ada yang memakannya lagi sedangkan soal air nanti dipos 2 kami bisa
mengisinya kembali.
Semua
telah ditata. Bersiap untuk turun gunung. Para laki-laki membawa
carier dan para wanita membawa ransel dan sampah kami selama disini.
Sampainya dipos dua, kami mengisi empat botol air minum dan
melanjutkan perjalanan.
“ break
dulu Kak. “ ujar Ana duduk diakar pohon besar.
“ Na..
kenapa tempat ini ? “ ucapku tak percaya dengan ini.
“ lha
emang kenapa Ra ? “
“ dulu
juga disini tempat rehat kami saat mau turun. “ terangku.
“ baper
lagi dah.. “ kata Dewi.
Ya
selalu begini. Aku memakai sandal coklatku, rasanya tidak enak
kupakai. Akhirnya kulepas dan kutitipkan kepada Ana. Sekarang kakiku
tak beralas dan bersentuhan dengan bumi langsung. Ini lebih nyaman.
Diikuti oleh Farkhan yang melepas sandalnya juga. Karena kami tak
memakai alas, kami melangkah cepat menuruni tanjakan. Sangat cepat
hingga teman-teman lainnya berada dibelakang. Terus menuruni
tanjakan, berhenti jika bertemu pendaki lain dan menyapa mereka jika
kami lewat. Kadang pula kami ditanya kenapa tidak pakai alas kaki.
Kami berdua terus menuruni hingga kami terhenti di pos satu yang
terdapat sumber air. Segar rasanya meminum air asli dari sumber secar
langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Sambil menunggu teman-teman,
kami berdua rehat di pos satu ini.
Di
basecamp kami sudah bersiap menuju rumah. Kaki sudah dibersihkan dan
sampah juga sudah berada pada tempatnya. Rasa lega ada pada hati dan
jiwaku. Kusambut dunia baru dari sini. Aku kembali kemari membawa
kenangan lama dan kupulang membawa kenangan baru. Dari sini pula, aku
akan berubah menjadi sosok wanita yang lebih baik lagi. Semua yang
telah kau berikan kepadaku di gunung ini, aku tanggalkan juga semua
di gunung ini. Terima kasih Kak Yaki atas waktumu yang pernah kau
berikan kepadaku. Beban sakit yang kubawa selama ini telah kubuang
dimana semua berawal. Aku tak menyesal mengenalmu, hal yang kusesali
adalah kenapa aku harus memilih mencintaimu dan meninggalkan sosok
laki-laki yang sebenarnya kucintai dari dulu. Hanya itu. Setelah ini
aku akan tebarkan senyum seperti dulu walaupun aku telah berubah.
Kubuang masa yang pernah menyakitkan hati dan terpancar sebuah
harapan akan masa depan. Harapan yang akan membawaku menjadi sosok
wanita yang baik. Aku percaya semua akan indah pada waktunya nanti.
Hati,
jiwa dan raga
Bersatu
dalam satu dunia
Harapan
dan kenyataan
Tergantung
usaha yang kita lakukan
Masa
lalu dan masa depan
Masa
yang selalu berkaitan
Masa
lalu sebagai pelajaran
Masa
depan sebagai harapan
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar