Rencana
telah disepakati. Senang rasanya akan mendaki bersama dengan
laki-laki yang membutku nyaman. Membanyangkan saja sudah membuatku
bahagia. Aku, Ida, Kak Yaki, Kak Anto, Kak Irfan, Kak Iwan dan Kak
Fandi. Kami akan mendaki Gunung Merbabu. Semoga hari-hari baik
mendukung kami saat mendaki. Rencana aku dijemput Om ke rumahnya
Tante di Magelang. Ya itu alasan dasarnya setelah itu menuju Merbabu
bersama mereka.
Aku
menunggu teman-teman dari pagi di rumah Tanteku di Magelang. Lama
sekali mereka datengnya. Sampai aku tertidur pulas hingga tengah hari
berlangsung.
Kak
kok belom nyampe ?.
Tanyaku lewat pesan singkat yang kukirimkan kepada Kak Yaki.
Ambil
carier di sekolah. Ketinggalan.
Balasnya
Lha
udah sampai mana tadi ?
Sumowono.
Balasnya singkat. Apa ! Sumowono ? itukan sudah jauh banget dari
sekolah menengah atas kami. Aku Ira Ariyanti, aku siswi kelas sepuluh
jurusan ilmu sosial. Aku teman sekelas dengan Ida Savitri. Aku suka
seni dan alam, termasuk gunung.
Laki-laki
yang spesial dihatiku adalah Kak Adi dan Kak Yaki. Aku mengenal
mereka dari organisasi Pramuka. Aku mengenal Kak Adi karena temanku
dan aku mengenal Kak Yaki saat acara Pramuka di Peromasan Gunung
Ungaran. Saat itu..
Acara
Napak tilas Pramuka di Peromasan Gunung Ungaran. Sore hari tak ada
kegiatan yang pasti, aku tertarik dengan apa yang dilakukan
sekumpulan orang yang berada di dipan
kayu
yang terlapisi oleh karpet hijau. Orang orang itu mengelilingi bedak
dan kartu yang telah tercecer. aku
ikut !.
ucapku rindu dengan permainan ini.
nanti
setelah ini Dek.
ujar Kak Iwan kepadaku. Setelah selesai, aku diajari dalam kalimat
mereka dan dibagilah kartu. Ini keberuntungan bagiku, aku menang
dalam permainan kartu pertama ini. Yang kalah akan dicoret dengan
bedak putih yang telah disiapkan. Permainan terus berlangsung, menag
dan menang dan sialnya aku kalah kali ini dan permainan berakhir. Aku
serasa ingin bermain kembali, kulihat di sudu sana juga sedang
bermain kartu. Aku duduk disana dan menawarkan diri untuk ikut. Saat
kartu terbagi dihadapanku, aku merasa ada yang memperhatikanku.
Kutengok kearah laki-laki yang sedang memandangiku itu. ia
memandangku dengansenyumnya, kami saling melempar senyuman. Seakan
waktu terhenti disekitar kami, begitu lama dan hening terasa. Hingga
ucapanku menyadarkan laki-laki itu, Kak Yaki. Dari permainan kartu
inilah kami kenal dan semakin dekat bahkan ia dapat membuatku nyaman
dalam semalam menuju puncak, ia selalu menemaniku hingga aku
menapakkan kaki di puncak Ungaran.
Saat
aku setelah Sholat Ashar, mereka tiba. Hujan menyentuh tubuh mereka.
Kasian. Aku menuntun mereka ke rumah Tanteku yang letaknya tak jauh
dari Mushola. Kubuatkan teh hangat untuk menghangatkan tubuh mereka
sembari menunggu hujan reda. Setelah hujan reda, kami bersiap untuk
menuju Gunung Merbabu via Wekas. Aku bersama Kak Yaki sebagai orang
yang spesial bagiku dan menurutku aku juga orang yang spesial
baginya. Jalan menuju basecamp begitu tenang, hingga gerimis
menerjang kami. Sepertinya ini tak baik apalagi hari sudah sore.
Namun kami tetap kokoh menuju basecamp Merbabu.
Sampai
disana, kami menata ulang perlengkapan. Aku dan Ida membeli lima
botol air besar dan makanan ringan. Sepertinya kami tak ada
persiapan, aku bahkan tadinya hanya membawa senter dan jaket saja.
Sore hari ini, kami mulai menanjak Gunung yang perkasa ini. Gunung
yang kuidam-idamkan selama ini, akhirnya dapat kudaki. Hujan baru
reda tadi, pantas saja jika jalan setapak ini basah. Aroma segar
pohon-pohon terhirup bebas. Mata selalu melihat hijaunya dedaunan.
Hari semakin gelap, sepi menyelimuti kami. Namun, karena kami bersama
dengan penuh canda tawa jadinya sepi itu sirna oleh kebersamaan kami
ini. Break ! break ! break ! kata yang sering kami ucapka. Kapan
sampainya kalau begini ?. memang tak mudah untuk mencapai tujuan yang
harus digapai. Malam sepertinya kurang untuk menyulitkan kami,
gerimis deraspun mengguyur kami. Kami harus cepat-cepat sampa ke pos
dua untuk mendirikan tenda. Setelah lama berjalan menerjang gerimis
yang tak kunjung reda, kami sampai di pos dua. Kami memilih tempat
untuk mendirikan tenda doom. Di atas bukit di bawah pohon itu cocok
menurut Kak Yaki. Tak pakai lama, para laki-laki itu membangun tenda
doom, kecuali Kak Iwan, ia beristirahat di matras yang telah ia
siapkan.
Satu
tenda doom untuk tujuh orang. Benar-benar tak ada persiapan. Rencana
jika tidak hujan, aku dan Ida tidur di tenda dan lainnya diluar.
Tetapi tak sesuai rencana. Didalam tenda ini yang saling berdesakkan,
kami bermain kartu. Seperti biasanya, yang kalah akan dicoret. Aku
dan Ida memiliki coreatan bedak paling bayak. Hari semakin larut,
kami harus segera tidur karena pukul satu pagi nanti harus sudah
bersiap menuju puncak. Berdesakkan namun mencoba untuk bisa
menyesuaikan dengan luasnya tenda doom ini. Hangat menjalar ketubuhku
walau cuaca dingin seperi ini. Pelukan yang membuatku hangat dan
nyaman tak membuatku bisa terlelap. Kehangatan yang diberkan oleh Kak
Yaki untukku terus melekat dalam diriku hingga pukul satu pagi.
“ Kak
udah pukul satu ! “ bisikku kepada Kak Yaki.
“ ayo
bangun ! “ Kak Yaki membangunkan semua yang masih terlelap oleh
hangatnya desakkan ini. Lampu dinyalakan, meliahat wajah-wajah mereka baru
bangun benar-benar membuatku geli. Kami bersiap membawa bekal menuju
puncak. Ranselnya Ida yang kupakai, kukeluarkan seluruh isi dalam
ranselnya dan kuisi dengan minum dan makana untuk perjalanan nanti.
Jaket
basah dan sepatu juga basah. Terpaksa, aku tak memakai keduanya.
Hanya celana
trening, kaos
dan sandal milik Kak Yaki. Aku membawa tas kecil yang isisnya
handycam milk Kak Yaki. Semua pendaki juga mulai berangkat menuju
puncak, kami juga tak mau ketinggalan.
“ Wan
! ayo bangun ! “ ajak Irfan paksa.
“ gak
Fan. Aku disini aja. “ ujarnya lemah dalam tenda dibalik selimut.
“ oke
! jaga tenda ya Wan ! “ Kata Kak Yaki.
“ masak
kesini hanya pindah tidu doang Wan ! “ canda Kak Anto.
Tanpa
Kak Iwan, kami pun berangkat menuju puncak. Dingin pasti, namun
semangat berkobar dalam jika hingga aku terbenteng dari dinginnya
suasana apalagi adanya Kak Yaki disisiku membuatku terasa lebih
hangat. Jalan menanjak terus menerus. Hal yang paling bodoh adalah
diriku, bodohnya karena kakiku kotor aku membasuhkan kakiku ke air.
Kakiku serasa kaku sampai kedalam. Bodoh. Sampainya di Watu Tulis,
Ida tak kuat menahan dinginynya suasana yang ada di Gunung ini.
Tubuhnya kaku dan menggigil. Sedangkan Kak Yaki malah ingin terus
melaju bak kereta api tanpa henti, bagaimana mungkin ia sendiri
mendaki. “ Kak aku ikut ! “ teriakku.
“ Kak
tolong jaga Ida ya.. “ lanjutku kepada Kak Irfan, Kak Anto dan Kak
Fandi. Mereka menemani Ida disana, sedangkan aku dan Kak Yaki terus
menanjak bersama. Rasanya aneh saat bersamanya, walau aku tak memakai
jaket, sarung tangan bahkan sepatu pun aku serasa hangat jika berada
disampingnya. Walaupun aku hampir tak kuat melangkah, ia selalu bisa
membuat terus melangkah oleh kata-katanya kepadaku. Semangatnya dan
kehangatannya telah merasuk dalam jiwaku ini. Aku terus melaju tanpa
henti hingga aku meminta untuk berhenti. Aku terduduk disana
kedinginan, hingga fajar menyingsing.
“ Kak
break dulu... “
“ yaudah
break sini. “
“ Dek
ayo bangun ! hampir deket. “ ucapnya setelah fajar nampak birunya.
Aku tertidur ternyata, mungkin karena aku tadi terjaga semalaman.
Kami berdua melanjutkan perjalan walaupu aku tak melihat matahari
terbit dari atas puncak.
“ Kak
Yaki ! “ teriak Kak Irfan dari bawah.
“ ayo
cepat ! “ teriak ganti Kak Yaki.
“ tunggu
! “ teriakkan terdengar lagi dari Kak Anto sekarang.
Jadi
kami berempat yang akhirnya menuju puncak. Ida sudah berada di tenda,
tertidur dalam kehangatan.sedangkan Kak Fandi menjaga dua orang yang
telah sakit didalam tenda bak seorang ayah menjaga kedua anaknya.
Setiap perjalana kami abadikan dalam bentuk foto melalui
handphone-nya
Kak Irfan, mereka indahnya pemandangan melalui handycam
oleh
Kak Anto. Dari sini bisa kami lihat pemancar di atas bukit Watu
Tulis, Gunung Andong, Gunung Telomoyo, Gunung Sindoro, Gunung
Sumbing, Gunung Prau dan Gunung Ungaran. Begitu hijau disetiap gunung
dan bukit, begitu biru langit menyambut sang surya yang mulai
meninggi. Serasa senang dihati hingga nyanyian terdengar, nynyian
yang aneh tapi lucu.
Naik
munggah,
Ke
puncak pucuk,
Tinggi
duwur sekali banget !
Kami
berempat sampa di Puncak Syarif. Hening dan sepi di puncak sini.
Indahnya awan yang membentuk batasan, megahnya Gunung Merap dari
sini. Foto dan foto, itulah kami. Setelah puas disini kami pindah
menuju Puncak Kentheng Songo. Kami harus berjalan lagi di jalan
setapak dengan hamparan sabana dan bukit-bukit indah. Harus melewati
tebing dan menanjak lagi. Untuk sampai ke puncak ini haruslah
menaiki tebing, beruntung telah disediaka tali jiwa sebagai pegangan
menuju ke atas. Di Puncak Kentheng Songo cukup ramai dengan pendaki.
Kami tentu selalu mengabadikan momen ini dan berehat sejenak disini.
Kulihat Kak Yaki yang lelah hingga tertidur disini dengan kepala yang
ditundukkan.
Matahari
semakin meninggi dan waktunya kami turun dari sini. Aku, Kak Yaki,
Kak Anto dan Kak Irfan segera menuju tenda. Harus menuruni tebing itu
lagi, entah kenapa perut jadi sakit. Aku kira karena waktunya datang
bulan namun sepetinya karena lapar, memang dari kemarin malam aku
hanya makan roti saja. Akhirnya setelah tak kuat menahan sakit, Kak
Yaki menawarkan diri untuk menggendhongku menuju tenda. Aku salut
dengan laki-laki ini. Ia kuat membawaku dipunggungnya disaat menuruni
jalan tajakan ini. Namun kadang ia iseng menjatuhkanku. Aku takut dan
semakin memperkuat peganganku terhadapnya.
“ Kak
turunkan aku ! “ pintaku yang merasa sudah baikkan. Ia menurunkanku,
aku berjalan lagi dengan kedua kakiku ini. Sesampainya di Watu Tulis,
aku iseng membuang sepatunya. Saat ia mulai marah aku mengambilnya
dan mengebalikannya.
“ Dek
mana sepatuku ! “
“ entahlah..
“
“ Dek
! dek cepetan bawa sini.. “
Namun
sepertinya ia benar-benar sudah marah walaupun sepatunya sudah
kukembalikan. Ia jalan terlebih dahulu tanpa melihat kebelakang, au
merasa bersalah. Ia mendiamkanku, aku juga terdiam menyesalinya.
Mungkin ia sudah lelah dan ingin segera ke tenda, tapi gara-gara aku
tadi mungkin.... . Aku berjalan sendiri menuruni tanjakan hingga pos
dua di tenda kami. Kami masih terdiam, berbicara pun masih canggung.
Makan
dan minum minuman hangat. Akhirnya perut ini terisi juga. Semoga Kak
Yaki cepat baikkan sama aku dan memaafkanku.
“ tadi
to aku menemukan kacamata warna ungu ditenda, ada juga yang bergambar
bunga-bunga pula. “ ucap Kak irfan keras. Ida mengerutkan dahi.
“ eh
Kak !! “ teriak Ida yang kemudian menuju tenda. Aku bingung dengan
tindakkannya.
“ hih
Kak !!! kok bisa disini !! gak sopan ik !! “ kesalnya membara.
“ ya
mana aku tahu Dek, lha dari tadi sudah disitu. “ jawab Kak Irfan.
“ apa
Fan ? “ tanya Kak Anto penasaran.
“ Fan
siapa ?!! “ tanya Kak Fandi sebal.
“ Irfan..
bukan Fandi. “ kata Kak Anto tegas dengan pembicaraannya yang lucu.
Kak Irfan membisiki laki-laki itu. kemudian Kak Anto juga ikut
tertawa. Aku ingat, tadi pagi saat masih gelap aku mengeluarkan seisi
ranselnya Ida bahkan termasuk pakaian xxxxxx. Oh tidak.
“ maaf
Da.. tadi aku yang mengeluarkan semua buat jadi tempat bekal
perjalanan. “ sesalku kepadanya.
“ ahhh
Ira... aku jadi malu.. “ kata Ida yang masih menta dalam tenda.
Keseruan kami saat disini begitu santai dan penuh tawa. Dari
menemukai bendera pandu dunia yang diambil dari pohon bahkan sampai
terbakarnya sebagian rambut poninya Ida.
Perjalanan
turun gunung pun berlangsung. Semua sudah beres tanpa sisa, ransel
begitu ringan. Kami membawa sejuta kenangan indah bersama. Beruntung
persediaan air masih ada. “ break ! “ ucap Kak Anto. Tempat
dibawah pohon yang rindang. Kak Yaki dan Kak Anto terduduk diakar
pohon besar. Kak Iwan duduk di akar pohon seberang, aku dan Ida
berdiri berjauhan. Kak Irfan mengeluarkan handycam dan mulai merekam
perjalanan pulang.
“ ayo
berangakat ! “ ujar Kak Yaki, ia sepertinya masih marah kepadaku.
Tak apalah, nanti juga kami akan baikkan lagi. Jalana turun membuat
kami tak bisa seimmbang. Kak Anto terpeleset dan jatuh, aku tak bisa
mengendalikan langkah dan terus melangkah cepat dan menabrak Kak Iwan
yang tentunya kami terjatuh bersama.
“ aku
gak lihat ! ulangi ! “ canda Kak Yaki dan Kak Irfan yang masih
merekam. Perjalanan masih panjang, lagi-lagi kami harus behadapan
dengan hujan. Hujan semakin deras, kulepas sandal Kak Yaki dan
sekarang tanpa alas kaki aku menuruni tanjakan. Karena hujan sehingga
tanah licin dan kadang aku terpeleset karenanya.
“ Dek
Ira, pakai jas hujan ini ! “ perintahnya Kak Yaki.
“ lha
Kakak pakai apa ? “
“ gak
usah. Pakai kamu saja “ ujarnya lagi kepadaku. Aku semakin mengerti
dengan tingkahnya terhadapku. Jika aku boleh katakan, sepertinya itu
adalah suatu kasih sayang. Ada hal konyol yang terjadi dikala hujan.
Kak Fandi seakan tak memakai celana karena celananya dinaikkan hingga
jaket panjangnya yang sampai paha menutupinya. Ida sudah turun
duluhan mendahului kami, Kak Iwan yang memiliki jas hujan malah
diberika kepada Kak Irfan yang terlanjur basah kuyub tetapi Kak Irfan
hanya membawa dan menyeret jas hujan berwarna biru bahkan
menghayutkan sandalnya agar sampai kebawah. Aku terlindungi oleh jas
hujan milik Kak Yaki dan aku melihat Kak Yaki yang kehujanan bahkan
tangannya yang mulai memerah karena kedinganan. “ maaf.. “ ucapku
lirih untuknya.
Aku
sekarang yakin akan perasaanku ini. Aku mencintai laki-laki yang
bernama Yaki Wira Nugroho ini. Laki-laki yang bisa membuatku nyaman
dalam semalam. Laki-laki yang selalu membuatku hangat walau cuaca
sedingin es. Aku bersyukur bisa mengenal dan mencintai dirinya. Aku
sadar ia menyayaiku walau tak sepatah kata terucap darinya kali ini.
Gunung Merbabu menjadi saksi bisu diantara cinta kami yang menyatu.
Gunung Merbabu akan menjadi Gunung yang istemewa bagiku sampai
kapanpun. Bibit cinta yang kami bawa, kami tanam diatas sini dan
tumbuh besar dalam hati yang sama dan dalam kehangatan yang sama.
Perjalanan kami masih panjang untuk masa depan yang indah. Perjalanan
yang harus kami tempuh untuk dapat mewujudkan harapan kami ynag kami
genggam bersama. Ya
Allah... jangan Engkau pisahkan kami berdua yang telah menyatu ini.
Ikatlah kami dalam satu ikatan yang tak terpisahkan. Karena aku
mencintainya..
Rasa
dingin tak dapat menyentuh kulitku
Kehangatan
selalu ada pada pihakku
Bersamanya
aku bisa bertahan
Tanpanya
aku tiada guna
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar