Minggu, 23 Agustus 2015

Karya Sastra dibeberapa Angkatan. :)


Karya Sastra Angkatan 20-an
Angkatan ’20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbitadalah novel Azab dan Sengsara yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh Merari siregar. Disebut pula sebagai Angkatan Balai Pustaka karna karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka.
Ciri-ciri karya sastra pada angkatan ’20-an 
  1. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dlll.
  2. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
  3. Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
  4. Puisinya berupa syair dan pantun
  5.   Isi karya sastranya bersifat didaktis.
Tokoh dan Karya pada Angkatan ‘20:
  1. Merari Siregar : Azab dan Sengsara (1920), Binasa Kerna Gadis Priangan (1931)
  2. Marah Roesli : Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924)
  3. Muhammad Yamin : Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
  4. Tulis Sutan Sati  : Tak Disangka (1923), Tulis Sutan Sati (1928), Tak Tahu Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932)
  5. Nur Sutan Iskandar: Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Salah Pilih (1928), Karena Mertua (1932), Karena Mertua (1933), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935), Cinta yang Membawa Maut (1926)
  6. Djamaluddin Adinegoro : Darah muda (1927), Asmara jaya (1928),
  7. Abas Soetan Pamoentjak : Pertemuan (1927)
  8. Abdul Muis : Salah Asuhan (1928), pertemuan Jodoh (1933)
  9. Aman Datuk Madjoindo: Menebus Dosa (1932), Si Cebol Rindukan Bulan (1934),Sampaikan Salkamku Kepadanya (1935)


·           Contoh Sinopsis
SALAH ASUHAN
Abdul Muis
Hanafi adalah seorang anak pribumi yang berasal dari Solok. Ibu hanafi adalah seorang janda, yang suaminya sudah meninggal semenjak hanafi masih kecil. Ibu hanafi sangat menyayanginya. Meskipun sudah menjanda, ibunya berkeinginan untuk memandaikan anaknya. Ibunya mengirim Hanafi ke Betawi untuk bersekolah di HBS. Ibunya selalu berusaha keras untuk selalu memenuhi segala biaya Hanafi. Selama bersekolah di Betawi, Hanafi dititipkan kepada keluarga Belanda. Sehingga pergaulan Hanafi tidak lepas dari orang-orang Belanda. Setelah lulus sekolah di HBS, pergaulannya juga tidak lepas dari orang-orang Eropa, karena ia bekerja di Kantor BB sebagai asisten residen di Solok.
Meskipun Hanafi seorang pribumi asli, tingkah lakunya serta gaya hidupnya sudah berubah menjadi kebarat-baratan. Bahkan terkadang tingkah lakunya melebihi orang Belanda asli. Selama ia bergaul dengan orang-orang Eropa dan setiap hari bersekolah di HBS, Hanafi dekat dengan gadis Eropa yang bernama Corrie. Dalam kesehariannya Hanafi dan Corrie memanglah sangat dekat, hubungan keduanya seperti kakak dengan adiknya. Mereka sering jalan-jalan berdua, main tenis bahkan duduk-duduk sambil menikmati segelas teh pun juga berdua. Karena hubungan mereka sangat amat dekat, maka Hanafi pun menganggap pertemanan itu dianggap lain.
Hanafi sayang kepada Corrie, namun perasaan itu bukan sekedar hanya rasa sayang seorang kakak kepada adiknya, melainkan rasa sayang sebagai pacar. Setiap hari Hanafi selalu bertemu dengan Corrie meskipun hanya sebentar saja. Sikap Corrie kepada Hanaffi juga masih nampak seperti biasanya. Hingga akhirnya Hanafi memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Corrie. Namun ketika Hanafi mengungkapkan isi hatinya, Corrie tidak langsung memberi jawaban kepada Hanafi, melainkan segera berpamitan pulang dengan alasan yang tidak jelas. Keesokan harinya, Corrie pergi meninggalkan Solok menuju Betawi. Maka dikirimkan surat kepada Hanafi, yang isinya penolakan secara halus mengenai pernyataan Hanafi pada tempo hari.
Corrie merasa sangat tidak mungkin menerima Hanafi, karena perbedaan budaya antara bangsa melayu dengan bangsa eropa. Selain itu Corrie juga ditentang oleh ayahnya jika menikah dengan orang melayu. Karena penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit selama beberapa hari. Selama dia sakit, Hanafi hanya dirawat oleh ibunya, dan selama itu pula Hanafi sering mendapat nasihat dari ibunya. Ibunya menasihati dan membujuk Hanafi agar menikah dengan Rapiah, yaitu anak mamaknya. Karena pada saat Hanafi bersekolah di HBS, mamaknyalah yang mencukupi kebutuhan Hanafi. Mendengar bujukan Ibunya, Hanafi sangat amat marah, karena Hanafi sungguh tidak mengetahui siapakah Rapiah itu dan Hanafi hanya suka kepada Corrie, yang telah menolak cintanya.
Maka Ibu Hanafi menjelaskan bahwa Rapiah adalah anak mamak, Sultan Batuah. Perjodohan itu dikarenakan Ibu Hanafi berhutang budi kepada Sultan Batuah. Setelah mendapat bujukan dari Ibunya, akhirnya Hanafi menerima perjodohan itu, meskipun dengan sangat terpaksa. Dua tahun sudah usia pernikahan Hanafi dan Rupiah, dan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Syafei. Pernikahan yang tidak didasari dengan rasa cinta itu membuat rumah tangga mereka tidak pernah tentram. Setiap hari Hanafi selalu memaki-maki istrinya karena hal yang sepele. Namun Rapiah hanya diam dan tidak pernah melawan semua perlakuan suaminya.
Hal itulah yang membuat Ibu Hanafi kagum kepada Rapiah, hingga suatu hari Hanafi murka kepada Ibunya. Dengan tidak sengaja Ibunya menyumpahi Hanafi. Tiba-tiba anjing gila mengigit pergelangan Hanafi hingga Hanafi harus berobat ke Betawi. Sampai di Betawi Hanafi bertabrakan dengan seorang gadis eropa, yang tidak lain adalah Corrie. Dengan amat senang mereka berdua menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan berdua menggunakan sepeda angin. Sudah satu minggu Hanafi meninggalkan Solok, setelah itu Hanafi mencari kerja di Kantor BB sebagai commies. Meskipun gaji awal cukup kecil, namun hanafi sangat senang. Karena dia dapat bertemu dengan Corrie setiap hari.
Hanafi berusaha keras untuk mendapatkan Corrie, hingga hanafi rela berubah kewarganegaraan menjadi Eropa. Setelah itu, Hanafi memohon kepada Corrie untuk menerima ajakan pertunangannya. Karena rasa ibanya kepada Hanafi, Corrie terpaksa menermanya. Meskipun Corrie harus menerima resiko, yaitu dijauhi oleh teman-teman eropanya, Pesta pertunangan mereka dilakukan dikediaman rumah teman Belandanya, namun tuan rumah nampak tidak begitu suka dengan pertunangan itu. Karena dia tidak suka bergaul dengan orang Belanda berkulit sawo matang.
Meskipun Rapiah dan Ibunya tahu jika Hanafi akan menikah Corrie, namun Rapiah tetap menunggu kedatangan Hanafi. Karena Ibu Hanafi sangat sayang kepada Rapiah, bahkan sayangnya melebihi rasa sayangnya kepada Hanafi. Hanafi dan Corrie sudah menjadi suami istri, maka tinggalah mereka dalam satu rumah. Namun seiring berjalannya waktu, rumah tangga Hanafi dan Corrie sudah tidak tentram lagi. Karena sifat Hanafi yang keterlaluan, sampai menuduh Corrie berzina dengan orang lain. Karena kehidupannya yang dalam kondisi tidak jelas, Bangsa Eropa maupun Bangsa Melayu sudah tidak mau mengakui Hanafi, karena keangkuhan dan kesombongannya. Pada akhirnya Corrie pergi ke Semarang untuk menghindari Hanafi. Namun pada suatu hari, Hanafi menerima surat yang memberi tahukan bahwa Corrie berada di Semarang.
Setelah beberapa hari, Hanafi nekat pergi ke Semarang untuk mencari Corrie dirumah seorang pengusaha anak-anak yatim. Namun sampai disana justru berita buruk yang diterima oleh Hanafi. Bahwa Corrie masuk rumah sakit karena sakit keras, yaitu kolera. Hingga akhirnya nyawa Corrie ridak dapat ditolong lagi. Setelah kepergian Corrie, Hanafi pulang ke Solok untuk menemui Ibunya. Setelah beberapa hari Hanafi sampai di Solok, ia jatuh sakit karena menelan 6 butir sublimat, yang menyebabkan Hanafi terus muntah darah dan akhrinya merenggut nyawanya.

Karya Sastra Angkatan ‘30
Angkatan ‘30-an (Pujangga Baru) merupakan angkatan yang berani menampilkan perubahan dari angkatan ‘20-an. Perubahan ini tercermin dalam tema-tema yang diangkat tidak lagi terpengaruh oleh budaya dan adat masyarakat lama. Tokoh yang menonjol dalam angkatan ini antara lain, Armin Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisyahbana. Karya sastra yang menonjol pada saat itu adalah novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana.

Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan ‘30
  1. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan klise, pepatah, peribahasa.
  2. Temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya,
  3. Bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris,
  4. Pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda.
  5. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan
  6. Setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Karta Sastra Angakatan 45

Ciri Karya Sastra Angkatan 45
Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan nan intim dengan empiris politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru nan cenderung romantik-idealistik. Lahir dalam lingkungan nan sangat keras dan memprihatinkan, karya sastra Angkatan 45 memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. terbuka,
  2. pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya,
  3. bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis,
  4. sastrawan periode ini terlihat menonjol individualismenya,
  5. dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra nan mapan sebelumnya,
  6. penghematan kata dalam karya,
  7. lebih ekspresif dan spontan,
  8. terlihat sinisme dan sarkasme,
  9. didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang. 

Karya Sastra Angkatan 45
Beberapa karya sastra angkatan 45 nan dihasilkan oleh mereka sastrawan angkatan 45, di antaranya ialah sebagai berikut:
  1. Kerikil Tajam (Chairil Anwar, 1949)
  2. Deru Campur Debu (Chairil Anwar, 1949)
  3. Tiga Menguak Takdir (Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar, 1950)
  4. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus, 1948)
  5. Atheis (Achdiat K. Mihardja, 1949)
  6. Katahati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo, 1952)
  7. Suling (Utuy Tatang Sontani, 1948)
  8. Tambera (Utuy Tatang Sontani, 1949)

  Sastra Angkatan '66

1.      Latar Belakang Munculnya Sastra Angkatan ‘66

Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror  politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura. 

a.    Ciri-Ciri Puisi

Stuktur Fisik
1.      berbentuk balada;
2.      menggunakan gaya repetisi;
3.      menggunakan gaya selogan dan retorik.
Struktur  Tematik
1.      bercorak kedaerahan;
2.      masalah sosial; kemiskinan, penagguran, perbedaan kaya/miskin; demonstrasi; dan
3.      keagamaan.
b.    Ciri-Ciri Prosa dan Drama
Struktur Fisik
       Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih menunjukan struktur fisik konvesional. Seperti dikatakan oleh Sumarjo (1992: 308) “Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun1950-an dan 60-an di Indonesia.”
       Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, alur, dan latar ceritanya. Bahkan berdasarkan catatan Sumarjo (1992:309), “Dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia, watak,dan latar belakang sosiologisnya.”
Struktur Tematik
Prosa fiksi dan drama tahun 60-an menunjukkan ciri-ciri tema  sebagai berikut:
1.      perjuangan (belatar revolusi);
2.      kehidupan pelacur;
3.      sosial;
4.      kejiwaan;
5.      keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar