Terbenam
Matahari
mulai meninggi di ufuk timur, angin pagi yang dingin menyusup dari
lubang ventilasi kamarnya. Membuat semua orang tentunya akan selalu
berada dibalik selimut hangat. Cuaca yang sangat dingin.. tidak
biasanya angin sangat dingin begini. Nana bukanlah gadis yang akan
selalu berada dibalik selimut yang tebal dan hangat walaupun cuaca
dingin sekalipun. Baginya dingin telah merasuk kedalam dirinya, jadi
ia tidak seharusnya takut oleh hal yang seperti ini. Tidak
sedikitpun. Nana membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin pagi
yang dingin masuk begitu saja memenuhi kamarnya dan sinar matahari
yang mulai memenuhi ruangnya. Matahari belum sepenuh sudah berada
diatas. Langit yang mulai berwarna jingga pekat kemerah-merahan mulai
nampak bersamaan dengan matari yang mulai meninggi.
Nana
menyaksikan panorama itu dari jendela kamarnya yang berada dilantai
dua. Baginya matahari terbit dan matahari tenggelan sangatlah indah.
Ia tersenyum. Gadis ini benar-benar tidak kedinginan, walau hanya
memakai kaos biru muda berlengan pendek dan celana jeans
diatas
lutut pun ia masih tegar diterjang oleh angin pagi yang begitu
dingin.
Cukup
sampai disini memandangi matahari terbit. Ia bangkit dari tempatnya
dan segera keluar dari kamarnya sambil membawa handuk putih yang
lembut. Sebelum benar-benar memasuki kamar mandi, ia mengunjungi
kamar adik perempuannya yang berhadapan dengan kamarnya. Ia membuka
pintu. Ia mendesah serta tersenyum. Ia bersandar di diambang pintu
melihat adik perempuannya yang sudah berumur enam belas tahun masih
saja berada dibalik selimut hangatnya yang begitu nyaman. Nana
terdiam, dan senyumannya mengembang kembali seolah ia memiliki
rencana terhadap adiknya itu.
Ia
berjalan santai menuju jendela yang berdara disana. Ia membuka tirai
berenda berwarna putih sehingga sinar matahari yang sudah mulai
tinggi masuk memenuhi kamar. Ia buka jendela itu lebar-lebar, dingin
mulai membuat adiknya semakin berada didalam selimut itu. Dahi
adiknya mengkerut oleh suasana dingin yang menjalar ditubuhnya. Nana
tersenyum lebar karena ia memiliki rencana lagi. Ia mendekat
perlahan-lahan kearah adiknya itu. Serentak nan gesit ia menyeret
selimut itu hingga adiknya itu benar-benar keluar dari dalam selimut
tebal yang sekarang ada ditangan Nana.
Benar-benar
dingin yang dirasakan oleh Luna,adiknya. Nana tersenyum lebar hingga
tertawa. Luna merintih kedinginan dengan cuaca yang sedingin ini,
rasanya ia tak ingin masuk sekolah dulu. “ hey !! Lu..bangun !!
sampai kapan kamu akan seperti anak kecil yang berusia lima tahun ??
ayo bangun !! “ ujar Nana sambil mencubit pipi Luna keras-keras
hingga menjadi berwarna merah. Luna berteriak kesakitan oleh cubitan
tangan kakaknya ini hingga ibu mereka masuk kedalam kamarnya.
“ ada
apa ini ? “ tanya ibunya.
“ lihatlah
dia ibu, sudah pukul berapa ini ? anak gadismu itu masih belum bangun
juga. “ kata Nana sambil berlalu menuju kamar mandi.
“ jika
kamu belum bersiap sampai pukul setengah tujuh.. kamu akan kutinggal.
Kamu mengerti Lu ?? “ lanjut Nana. Tak ada jawaban dari Luna yang
masih terbaring di kasurnya sambil memegangi pipinya yang telah
menjadi merah labu.
Nana
mengendarai motor besarnya yang berwarna merah, dia memang wanita
namun statusnya yang menjadi seorang wanita bukanlah penghalang
baginya untuk mengendarai kendaraan yang ia inginkan. Menurutnya,
menaiki motor seperti itu memiliki kesan tersendiri.
“ ayo
cepat ! dasar lambat kayak kura-kura. “ sindir Nana melihat adiknya
yang keluar dari pintu rumah. Dia memang sering berkata pedas kepada
adiknya, namun ia sangat menyayangi adiknya itu lebih dari apapun,
jika ada yang menyakiti adiknya nanti dia tidak ragu untuk menghajar
orang itu.
Nana
dan teman-temannya tengah bercanda tawa di tempat parkir. Sudah
kebiasaan mereka berkumpul disana setiap pagi. Tempat itu seperti
tepat perkumpulan mereka setiap hari dan tak bisa diganggu gugat.
Muncul seorang pemuda yang mengendarai motor yang sama dengan Nana
dengan warna yang berbeda, hitam. Teman-teman wanita itu memang tidak
memperdulikan laki-laki itu namun saat laki-laki itu datang
memarkirkan motornya, Nana terus memperhatikannya. Laki-laki itu
menyadarinya, ia memandang Nana dari motornya. Seulas senyum
terpampang diwajahnya untuk Nana. Senyum yang tak pernah dilihat oleh
Nana sebelumnya, berbeda dengan senyum-senyum para laki-laki di
sekolah ini. Tatapan mata laki-laki itu yang tajam serta alis yang
hitam, tak pernah Nana melihat laki-laki itu di sekolah ini.
“ siapa
dia ? aku belum melihatnya disini. “ tanya Nana lirih yang masih
memperhatikannya walaupun hanya punggung yang ia lihat darinya.
Liirih, namun masih bisa didengar oleh Riri yang ada disebelahnya. “
entahlah, murid baru mungkin “. Penasaran mulai menggerogoti
dirinya. Itulah Nana.
Tadi
pagi lihat, namun jika ia berkeliling searea sekolah ia tak menemukan
sosok laki-laki itu disana. Bahkan saat pulang pun ia tidak
mendapatkan motornya lagi yang tadi terparkir disana. Mungkin esok
hari ia bisa melihat laki-laki itu lagi. Ia melihat sekeliling
halaman rumahnya dari jendela kamarnya, hal seperti ini yang selalu
ia lakukan saat matahari mulai tenggelam. Melihat matahari yang mulai
dilahap bumi membuat hatinya tenang melihat warna-warna yang terlukis
dilangit. Ia pandangi terus langit itu hingga gelap mulai menguasai.
Tidak hari ini. Ia harus merelakan hal itu. Ia melihat sosok
laki-laki itu lagi disekitar rumahnya, tepatnya rumah keluarga Pak
Aryo. Matanya membelalak melihat laki-laki. Laki-laki itu membawa
sebuah nampan berisi nasi kuning dari kediaman keluarga Pak Aryo dan
menuju rumahnya. Ini kesempatan untuknya untuk mencari tahu. Suara
ketukan terdengar. “ iya. “ ujar ibu Nana.
“ biar
Nana saja Ma yang buka ! “ teriak Nana dengan langkah cepat
menuruni tangga. Nana membuka pintu perlahan, memastikan jika dia
memang datang ke rumahnya. “ selamat sore “ ujar laki-laki itu.
Ia menghentikan ucapannya saat melihat Nana, wanita yang ia temui
tadi pagi. Ini bagainya sebuah takdir bisa bertemu dengan wanita itu.
“ hai
“ ujar Nana.
“ oh,
hai.. ini nasi kuning dari keluarga kami untuk rasa syukur akan
kepulanganku dari Amerika. “ terang Carlie.
“ keluargamu
? “
“ oh
ya, namaku Carlie. Aku putra bungsu dari Pak Aryo dan Bu Gusti.
Tetanggmu. “
“ jadi
kamu anak bungsu mereka, oh aku mengerti. Terima kasih atas nasi
kuningnya. “. Carlie hanya tersenyum seperti tersenyum saat pagi
tadi.
“ tunggu
! kamu kelas apa ? “ ujar Nana yang masih penasaran.
“ apa
? “
“ kamu
kelas apa ? “
“ oh,
aku kelas dua belas IPA d “
“ kalau
begitu sama, aku Nana kelas dua belas IPA a, selamat datang kembali
Carlie. Karena kita tetangga maka kita harus lebih dekat lagi. Samapi
bertemu besok. “
Seperti
ucapan Nana, tetangga haruslah lebih dekat. Mereka bertambah dekat.
Sekarang Nana tidak menikmati matahari terbenam sendiri melalui
jendela, namun bersama Carlie di pantai dekat rumah mereka. Rasanya
berbeda saat menikmati suasana seperti ini dengan seseorang. Merasa
lebih hidup.
“ jadi
dari kecil kamu sudah berada di Amerika. Berarti bahasa inggrismu
bagus dong. “ ujar wanita itu sambil menikmati matahari terbenam.
“ begitulah..
aku dibesarkan oleh kakek nenekku disana. “
“ mereka
orang Amerika ? “
“ tidak.
Kakek nenek asli Indonesia kemudian pindah kesana. “
“ jadi
begitu. Kenapa mereka pindah ? “
“ soal
itu belum aku tanyakan. “ ujar Carlie. Mereka tertawa bersama dalam
satu dunia yang mereka temukan. Dunia yang tadinya dirasa sendiri
sekarang berubah menjadi dunia yang berbeda dengan kehadirannya.
Bersama dan bersama yang mereka rasakan. Hingga timbul rasa dihati
yang tak dimengerti. Rasa yang begitu damai saat bersamanya, ulasan
senyum yang selalu terpasang diraut wajah.
Nana
dan Carlie tengah duduk dipasir putih dengan ombak laut menuju
pantai. Inilah yang kerap mereka lakukan disenja hari. Duduk
menyaksikan matahari terlahap bumi dengan warna warna yang terlukis
indah di langit. Angin sepoi-sepoi menambah romansa indah, deruan
ombak dan teriakan burung bagai musik yang menemani.
“ sekarang
aku mengerti. “ ucap Carlie menatap sang surya yang hampir
tenggelam.
“ mengerti
apa ? “ tanya Nana penasaran dengan menatap wajah laki-laki yang
ada disampingnya. Carlie menoleh menatap wanita yang ada disampingnya
itu. Wajah yang membuatnya damai, mata yang bulat.
“ apa
? “ tanya Nana semakin penasaran.
“ i
love you. “ ucap Carlie dengan mata yang mendalam. Nana malah
tertawa mendengar kalimat itu, merasa itu sebuah lelucon yang
benar-benar membuatnya geli. Namun, melihat ekspresi laki-laki itu
begitu tenang dan serius, ia menghentikan tawanya perlahan dan
kembali menatap laki-laki itu.
“ benarkah
? “ tanya Nana memastikan hal itu. Carlie mendekatkan wajahnya.
Nana merasakan bibirnya tertimpa sebuah bibir yang lembut. Bibir yang
tak pernah ia duga akan mendarat dibibirnya dikala sang surya semakin
hilang dilangit. Matanya membulat mendapatkan kecupan dari Carlie.
Kecupan pertama yang ia terima dari seorang laki-laki. Ia masih
menatap dengan mata membulat saat wajahnya telah menjauh. Nana
memalingkan wajahnya. “ maaf. “ ujar Carlie. Nana menatap kembali
laki-laki itu, memberikan sebuah senyuman hangat saat rasa dingin
menyusup masu kepori-porinya.
Dari
awal Nana melihat laki-laki itu di sekolah ia memang sudah jatuh hati
ditambah senyuman yang ia terima untuk pertama kalinya. Laki-laki
yang membuatnya penasaran tentang dirinya. Laki-laki yang membuat
dunia menjadi lengkap bak kopi dengan gula yang membuat kopi itu
menjadi manis.
Awalnya
tak ada rasa khusus untuk Nana bagi Carlie, jika dirasakan terus
menerus bersamanya. Entah mengapa rasa aneh mulai menggerogoti
dirinya, rasa yang tak ppernah ia rasakan sebelumnya, rasa yang
membuatnya ingin berada didekatnya, rasa yang sebenarnya ia dapati
saat ia melihat seorang wanita yang menatap matahari terbenam saat
senja datang di jendela atas. Angin yang membuat rambut wanita itu
seakan terbang. Melihat wajahnya yang damai saat menatap matahari
membuat hati pun damai melihatnya.
Dunia
bertambah lengkap bagi mereka disaat sebuh cinta tumbuh diantara
mereka. Dunia bak bunga dihati. Menjalin sebuah hubungan khusus
diantara mereka yang diikat oleh tali cinta yang disebut kekasih.
Mereka bahagia dalam satu dunia, dunia yang mereka bentuk sendiri
oleh sebuah cinta yang fana, yang tak dapat dilihat namun dapat
dirasakan.
Malam
ini mereka akan pergi kesebuah tempat di kota, sebuah tempat yang
penuh cahaya-cahaya lampu. Cinta mereka semakin kuat bagai baja yang
sukar dihancurkan, sebening embun dipagi hari dan seindah matahari
terbenam di barat.
“ mau
kemana ? “ tanya Nana melihat Carlie mengendarai motor besarnya
yang menjemput wanita itu.
“ kau
akan segera tau nanti Na. “ ucap Carlie. Nana tersenyum, ia percaya
kepada laki-laki itu.
Dalam
dinginnya malam, sebuah kehangatan terpancar dalam diri mereka. Suhu
seperti ini tak membuat mereka gundah. Dingin pun kalah akan
hangatnya cinta mereka. Carlie mengendarai motornya dengan kecepatan
sedang, tak ingin membuat wanita yang memeluknya khawatir dan takut
saat berada diatas motornya ini. Mereka nikmati nuansa malam yang
indah dengan ribuan bintang menghiasi langit dan bulatnya bulan bak
tersenyum kepada mereka. Namun, indahya malam berubah menjadi kelam.
Semua bak memudar dan hilang. Motor yang mereka tumpangi tergelincir,
dengan cepat motor tersebut terjatuh dijalan raya yang ramai. Nana
terjatuh dari motor tersebut, namun carlie tak datang berkutik, ia
masih bertahan dalam pegangannya dan kepalanya terbentur palang
pinggir jalan.
Masih
berkunang-kunang ia rasakan, matanya terbuka jelas. Ia menghampiri
Carlie dipinggir sana. “ Carlie !! “ teriak wanita itu. Ia
melangkah cepat menghampiri kekasihnya itu. Darah segar mengalir
dikepalanya. Ia melihat kekasinya yang tak berdaya. “ Carlie kamu..
“ ucapnya lirih merasakan darah yang terus mengalir.
“ tak
apa Na.. aku baik-baik saja. “ ucapnya terbata.
“ kau
tak baik Lie, ambulan akan segera datang. “ Ujar Nana terisak
tangis.
“ mereka
akan terlamat. Tak apa Na.. aku tak butuh mereka, kamu sudah disini
sudah membuatku tertolong. Aku ingin mengatakan jika kamu benar-benar
telah mengubah hidupku lebih indah. I love you. Aku bahagia Na. Kamu
juga harus bahagia. “ ucap Carlie lirih dan terbata-bata. Waktu tak
memperbolehkan laki-laki terus melihat wanita lebh lama. Ia menutup
mata perlahan, melihat Nana yang ia cintai harus berlinang air mata
melihatnya begini. “ jangan menangis Na.. “ ucap laki-laki itu
untuk terakhir kalinya. Nana tak bisa berhenti menyuarakan
tangisannya. Ia terus memanggil nama laki-laki itu, berharap ia
kembali ke dunia. Ia menangis sampai terasa sesak di dada. Namun apa
daya, Tuhan telah memiliki takdir untuk Carlie. Takdir yang tak bisa
diubah lagi. Hanyalah keiklasan dan tangisan yang tersisa.
Kini
Nana telah lulus dan kuliah di kota, memang tempat ia kuliah dengan
rumahnya jauh. Namun baginya tak apa, di rumahnya ia bisa melihat
matahari sesukanya. Nana duduk termenung di jendela kamarnya dengan
lulut yag ia peluk. Sembari menunggu matahari dilahap bumi dan ribuan
bintang menghiasi langit.
Ia
masih ingat dengan malam itu, sudah satu tahun. Namun, kejadian itu
serasa baru kamarin. Kini ia nikmati matahari terbenam sendiri,
sendiri tenggelam dalam sebuah kenangan. Matahari yang hanya bisa
membuatnya tersnyum tipis selama ini. Bagai dunia runtuh setahun yang
lalu. Kadang ia meneteskan air mata lagi, kadang ia merasa ini
salahnya dan berkhayal laki-laki yang ia cintai ada disampingnya.
Suatu
pagi, Nana sedang berada di sebuah kantin kampus. Ia duduk sendiri
menatap bukunya. Hidupnya bak hancur sendiri, tlah jatuh ke jurang
yang dalam tanpa cahaya sedikitpun. Hanya berdiam diri dalam dunianya
sendiri. “ maaf, apa saya boleh duduk disini. “ kata seorang
laki-laki meminta izin kepada Nana yang sibuk dengan buku. Nana hanya
memberikan isyarat dengan anggukan kepala tanpa melihat orang itu.
“ maaf,
namaku Rohan. Nama kamu ? “ tanya lagi laki-laki itu yang tlah
membuka buku tebalnya.
“ namaku
Nana. “ ujar Nana tanpa melihat laki-laki lagi.
“ apakah
kamu selalu seperti ini ? jika saat ada orang bertanya tidak
memandang wajah orang itu ? “ sindir laki-laki itu.
“ maaf,
namaku Na.. “ ucapannya terhenti dikala melihat wajah laki-laki
itu. Matanya membuka dengan malut yang sedikit menganga. Tanpa
kedipan tanpa suara. Apakah ini nyata ?.
“ Na..
? “
“ Nana.
“ ucap lirih wanita itu.
“ senang
bisa berkenalan denganmu Nana. “ ujar Rohan dengan senyumannya.
Masih
tercengang melihat laki-laki yang duduk bersama dirinya. Mata..
hidung.. alis.. bibir.. wajah yang sama dengannya. Suara yang mirip
dengannya. Hanya senyumannya berbeda. Apakah ini nyata ? apakah aku
bermimpi ? apakah aku berkhayal lagi ?.
Nana
masih memandangi laki-laki itu. Ia tak bisa melepaskan wajah itu.
Wajah yang ia rindukan dari dulu dan sudah setahun ini.
“ Carlie..
“ kata Nana lirih. Namun, suaranya bisa terdengar oleh Rohan
disana.
“ apa
? maaf.. tadi kan aku sudah bilang namaku Rohan. Kau lupa ? “
“ apa
? oh maaf.. aku kira.. “
“ ya
? “
“ tak
apa. “
“ aku
harus pergi. Ingat.. namaku Rohan. OK. “ kata laki-laki itu dengan
suara ringan. Nana masih memandangi laki-laki itu.
Hari
ini, Nana akan pulang malam. Ia masih didalam perpustakan. Jika ia
akan pulang malam, saat sore hari ia akan berada di perpustakan
lantas paling atas untuk melihat matahari terbenam. Baginya,
menyaksikan hal itu harus.
“ hai
Nana. “ sapa Rohan. Nana menoleh dan menatap wajah itu lagi.
Laki-laki melihat keluar jendela.
“ kamu
suka matahari terbenam ya ? “ tebak Rohan. Nana hanya bisa
mengangguk iya.
“ kalau
begitu kita sama. “ kata Rohan.
“ apa
? “
“ hanya
saja aku lebih suka melihatnya di atas gunung. “ terang Rohan.
“ kamu
pernah lihat matahari di atas gunung ? “ lanjutnya. Nana lagi-lagi
tak bisa berucap hanya isyarat kepala yang ia lakukan.
“ kalau
begitu kamu hanya mencobanya. Mau ? besok sabtu aku akan naik gunung,
mau ikut ? “
“ kamu
mengajakku ? kita kan baru kenal kemarin. “
“ kenapa
? kamu takut ? “ tanya Rohan dengan senyumnya.
“ tidak.
Hanya saja aneh. “
“ maaf.
“ kata Rohan.
“ tidak
perlu. Aku ikut. “ ujar Nana mantap. Ia berkata seperti ingin tahu
tentang laki-laki ini, ingin bersama laki-laki yang memiliki wajah
yang sama dengan laki-laki yang ia cintai. “ baiklah. Ini nomor
telfonku. Besok sabtu aku tunggu jam delapan pagi. “ ujar Rohan
dengan senyumnya lagi.
Mereka
mendaki berdua. Rohan selalu menjaga wanita yang baru ia kenali ini.
Dan Nana entah mengapa selalu percaya kepada laki-laki yang baru ia
kenal kemarin bahkan laki-laki yang membuatnya teringat dan rindu
kepada Carlie. Mereka menunggu matahari terbenam diatas gunung. Demi
matahari terbenam, Rohan menyempatkan diri untuk naik ke gunung.
“ jika
biasanya kamu lihat matahari terbenam di pantai, kamu melihat matahai
tenggelam diperariran. Jika kamu melihatnya disini, serasa tenggelam
dalam gumpalan awan. Benar ? “ terang Rohan. Nana hanya bisa
mengiyakan, karena memang betul. Ini pertama kalinya ia melihat
matahari terbenam diatas gunung.
Rohan
dipertemukan kepada Nana bak sebuah kesempatan bagi Nana untuk
bertemu Carlie. Dan itu membuat Nana bersyukur. Mereka bertambah
dekat, berteman dalam satu kampus. Wajah dan suara sama serta
kesukaan yang sama pula, matahari terbenam. Ia merasa bisa bangkit
kembali, bak bisa memanjat keluar dari jurang yang dalam tanpa
cahaya, melihat sebuah cahaya dari Rohan. Sudah sekian lama akhirnya
berteman,
Nana selalu mencari kesamaannya dengan Carlie. Dan kini ia sadar jika
Rohan dan Carlie itu berbeda. Ia sadar keterpurukan akan masa lalu
yang membuatnya terhenti. Hidup dalam masa lalu hanyalah membuag
waktu. Hal itu harus hilang darinya.
Ia
harus iklas oleh kepergian Carlie dan meneruskan hidup bahagia di
dunia. Ia bersyukur bisa bertemu Rohan yang bisa menariknya dari
keterpurukan dan menyadarkan dirinya. Tuhan,
terima kasih atas apa yang telah Engkau berikan. Terima kasih telah
mempertemukanku dengan laki-laki ini, laki-laki yang dapat menarikku
dari masa lalu yang terus membuatku terpuruk.
selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar