Sabtu, 30 Januari 2016

terbenam


Terbenam


Matahari mulai meninggi di ufuk timur, angin pagi yang dingin menyusup dari lubang ventilasi kamarnya. Membuat semua orang tentunya akan selalu berada dibalik selimut hangat. Cuaca yang sangat dingin.. tidak biasanya angin sangat dingin begini. Nana bukanlah gadis yang akan selalu berada dibalik selimut yang tebal dan hangat walaupun cuaca dingin sekalipun. Baginya dingin telah merasuk kedalam dirinya, jadi ia tidak seharusnya takut oleh hal yang seperti ini. Tidak sedikitpun. Nana membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin pagi yang dingin masuk begitu saja memenuhi kamarnya dan sinar matahari yang mulai memenuhi ruangnya. Matahari belum sepenuh sudah berada diatas. Langit yang mulai berwarna jingga pekat kemerah-merahan mulai nampak bersamaan dengan matari yang mulai meninggi.


Nana menyaksikan panorama itu dari jendela kamarnya yang berada dilantai dua. Baginya matahari terbit dan matahari tenggelan sangatlah indah. Ia tersenyum. Gadis ini benar-benar tidak kedinginan, walau hanya memakai kaos biru muda berlengan pendek dan celana jeans diatas lutut pun ia masih tegar diterjang oleh angin pagi yang begitu dingin.
Cukup sampai disini memandangi matahari terbit. Ia bangkit dari tempatnya dan segera keluar dari kamarnya sambil membawa handuk putih yang lembut. Sebelum benar-benar memasuki kamar mandi, ia mengunjungi kamar adik perempuannya yang berhadapan dengan kamarnya. Ia membuka pintu. Ia mendesah serta tersenyum. Ia bersandar di diambang pintu melihat adik perempuannya yang sudah berumur enam belas tahun masih saja berada dibalik selimut hangatnya yang begitu nyaman. Nana terdiam, dan senyumannya mengembang kembali seolah ia memiliki rencana terhadap adiknya itu.
Ia berjalan santai menuju jendela yang berdara disana. Ia membuka tirai berenda berwarna putih sehingga sinar matahari yang sudah mulai tinggi masuk memenuhi kamar. Ia buka jendela itu lebar-lebar, dingin mulai membuat adiknya semakin berada didalam selimut itu. Dahi adiknya mengkerut oleh suasana dingin yang menjalar ditubuhnya. Nana tersenyum lebar karena ia memiliki rencana lagi. Ia mendekat perlahan-lahan kearah adiknya itu. Serentak nan gesit ia menyeret selimut itu hingga adiknya itu benar-benar keluar dari dalam selimut tebal yang sekarang ada ditangan Nana.
Benar-benar dingin yang dirasakan oleh Luna,adiknya. Nana tersenyum lebar hingga tertawa. Luna merintih kedinginan dengan cuaca yang sedingin ini, rasanya ia tak ingin masuk sekolah dulu. “ hey !! Lu..bangun !! sampai kapan kamu akan seperti anak kecil yang berusia lima tahun ?? ayo bangun !! “ ujar Nana sambil mencubit pipi Luna keras-keras hingga menjadi berwarna merah. Luna berteriak kesakitan oleh cubitan tangan kakaknya ini hingga ibu mereka masuk kedalam kamarnya.
ada apa ini ? “ tanya ibunya.
lihatlah dia ibu, sudah pukul berapa ini ? anak gadismu itu masih belum bangun juga. “ kata Nana sambil berlalu menuju kamar mandi.
jika kamu belum bersiap sampai pukul setengah tujuh.. kamu akan kutinggal. Kamu mengerti Lu ?? “ lanjut Nana. Tak ada jawaban dari Luna yang masih terbaring di kasurnya sambil memegangi pipinya yang telah menjadi merah labu.
Nana mengendarai motor besarnya yang berwarna merah, dia memang wanita namun statusnya yang menjadi seorang wanita bukanlah penghalang baginya untuk mengendarai kendaraan yang ia inginkan. Menurutnya, menaiki motor seperti itu memiliki kesan tersendiri.
ayo cepat ! dasar lambat kayak kura-kura. “ sindir Nana melihat adiknya yang keluar dari pintu rumah. Dia memang sering berkata pedas kepada adiknya, namun ia sangat menyayangi adiknya itu lebih dari apapun, jika ada yang menyakiti adiknya nanti dia tidak ragu untuk menghajar orang itu.
Nana dan teman-temannya tengah bercanda tawa di tempat parkir. Sudah kebiasaan mereka berkumpul disana setiap pagi. Tempat itu seperti tepat perkumpulan mereka setiap hari dan tak bisa diganggu gugat. Muncul seorang pemuda yang mengendarai motor yang sama dengan Nana dengan warna yang berbeda, hitam. Teman-teman wanita itu memang tidak memperdulikan laki-laki itu namun saat laki-laki itu datang memarkirkan motornya, Nana terus memperhatikannya. Laki-laki itu menyadarinya, ia memandang Nana dari motornya. Seulas senyum terpampang diwajahnya untuk Nana. Senyum yang tak pernah dilihat oleh Nana sebelumnya, berbeda dengan senyum-senyum para laki-laki di sekolah ini. Tatapan mata laki-laki itu yang tajam serta alis yang hitam, tak pernah Nana melihat laki-laki itu di sekolah ini.
siapa dia ? aku belum melihatnya disini. “ tanya Nana lirih yang masih memperhatikannya walaupun hanya punggung yang ia lihat darinya. Liirih, namun masih bisa didengar oleh Riri yang ada disebelahnya. “ entahlah, murid baru mungkin “. Penasaran mulai menggerogoti dirinya. Itulah Nana.
Tadi pagi lihat, namun jika ia berkeliling searea sekolah ia tak menemukan sosok laki-laki itu disana. Bahkan saat pulang pun ia tidak mendapatkan motornya lagi yang tadi terparkir disana. Mungkin esok hari ia bisa melihat laki-laki itu lagi. Ia melihat sekeliling halaman rumahnya dari jendela kamarnya, hal seperti ini yang selalu ia lakukan saat matahari mulai tenggelam. Melihat matahari yang mulai dilahap bumi membuat hatinya tenang melihat warna-warna yang terlukis dilangit. Ia pandangi terus langit itu hingga gelap mulai menguasai. Tidak hari ini. Ia harus merelakan hal itu. Ia melihat sosok laki-laki itu lagi disekitar rumahnya, tepatnya rumah keluarga Pak Aryo. Matanya membelalak melihat laki-laki. Laki-laki itu membawa sebuah nampan berisi nasi kuning dari kediaman keluarga Pak Aryo dan menuju rumahnya. Ini kesempatan untuknya untuk mencari tahu. Suara ketukan terdengar. “ iya. “ ujar ibu Nana.
biar Nana saja Ma yang buka ! “ teriak Nana dengan langkah cepat menuruni tangga. Nana membuka pintu perlahan, memastikan jika dia memang datang ke rumahnya. “ selamat sore “ ujar laki-laki itu. Ia menghentikan ucapannya saat melihat Nana, wanita yang ia temui tadi pagi. Ini bagainya sebuah takdir bisa bertemu dengan wanita itu.
hai “ ujar Nana.
oh, hai.. ini nasi kuning dari keluarga kami untuk rasa syukur akan kepulanganku dari Amerika. “ terang Carlie.
keluargamu ? “
oh ya, namaku Carlie. Aku putra bungsu dari Pak Aryo dan Bu Gusti. Tetanggmu. “
jadi kamu anak bungsu mereka, oh aku mengerti. Terima kasih atas nasi kuningnya. “. Carlie hanya tersenyum seperti tersenyum saat pagi tadi.
tunggu ! kamu kelas apa ? “ ujar Nana yang masih penasaran.
apa ? “
kamu kelas apa ? “
oh, aku kelas dua belas IPA d “
kalau begitu sama, aku Nana kelas dua belas IPA a, selamat datang kembali Carlie. Karena kita tetangga maka kita harus lebih dekat lagi. Samapi bertemu besok. “
Seperti ucapan Nana, tetangga haruslah lebih dekat. Mereka bertambah dekat. Sekarang Nana tidak menikmati matahari terbenam sendiri melalui jendela, namun bersama Carlie di pantai dekat rumah mereka. Rasanya berbeda saat menikmati suasana seperti ini dengan seseorang. Merasa lebih hidup.
jadi dari kecil kamu sudah berada di Amerika. Berarti bahasa inggrismu bagus dong. “ ujar wanita itu sambil menikmati matahari terbenam.
begitulah.. aku dibesarkan oleh kakek nenekku disana. “
mereka orang Amerika ? “
tidak. Kakek nenek asli Indonesia kemudian pindah kesana. “
jadi begitu. Kenapa mereka pindah ? “
soal itu belum aku tanyakan. “ ujar Carlie. Mereka tertawa bersama dalam satu dunia yang mereka temukan. Dunia yang tadinya dirasa sendiri sekarang berubah menjadi dunia yang berbeda dengan kehadirannya. Bersama dan bersama yang mereka rasakan. Hingga timbul rasa dihati yang tak dimengerti. Rasa yang begitu damai saat bersamanya, ulasan senyum yang selalu terpasang diraut wajah. 
 
Nana dan Carlie tengah duduk dipasir putih dengan ombak laut menuju pantai. Inilah yang kerap mereka lakukan disenja hari. Duduk menyaksikan matahari terlahap bumi dengan warna warna yang terlukis indah di langit. Angin sepoi-sepoi menambah romansa indah, deruan ombak dan teriakan burung bagai musik yang menemani.
sekarang aku mengerti. “ ucap Carlie menatap sang surya yang hampir tenggelam.
mengerti apa ? “ tanya Nana penasaran dengan menatap wajah laki-laki yang ada disampingnya. Carlie menoleh menatap wanita yang ada disampingnya itu. Wajah yang membuatnya damai, mata yang bulat.
apa ? “ tanya Nana semakin penasaran.
i love you. “ ucap Carlie dengan mata yang mendalam. Nana malah tertawa mendengar kalimat itu, merasa itu sebuah lelucon yang benar-benar membuatnya geli. Namun, melihat ekspresi laki-laki itu begitu tenang dan serius, ia menghentikan tawanya perlahan dan kembali menatap laki-laki itu.
benarkah ? “ tanya Nana memastikan hal itu. Carlie mendekatkan wajahnya. Nana merasakan bibirnya tertimpa sebuah bibir yang lembut. Bibir yang tak pernah ia duga akan mendarat dibibirnya dikala sang surya semakin hilang dilangit. Matanya membulat mendapatkan kecupan dari Carlie. Kecupan pertama yang ia terima dari seorang laki-laki. Ia masih menatap dengan mata membulat saat wajahnya telah menjauh. Nana memalingkan wajahnya. “ maaf. “ ujar Carlie. Nana menatap kembali laki-laki itu, memberikan sebuah senyuman hangat saat rasa dingin menyusup masu kepori-porinya.
Dari awal Nana melihat laki-laki itu di sekolah ia memang sudah jatuh hati ditambah senyuman yang ia terima untuk pertama kalinya. Laki-laki yang membuatnya penasaran tentang dirinya. Laki-laki yang membuat dunia menjadi lengkap bak kopi dengan gula yang membuat kopi itu menjadi manis.
Awalnya tak ada rasa khusus untuk Nana bagi Carlie, jika dirasakan terus menerus bersamanya. Entah mengapa rasa aneh mulai menggerogoti dirinya, rasa yang tak ppernah ia rasakan sebelumnya, rasa yang membuatnya ingin berada didekatnya, rasa yang sebenarnya ia dapati saat ia melihat seorang wanita yang menatap matahari terbenam saat senja datang di jendela atas. Angin yang membuat rambut wanita itu seakan terbang. Melihat wajahnya yang damai saat menatap matahari membuat hati pun damai melihatnya.

Dunia bertambah lengkap bagi mereka disaat sebuh cinta tumbuh diantara mereka. Dunia bak bunga dihati. Menjalin sebuah hubungan khusus diantara mereka yang diikat oleh tali cinta yang disebut kekasih. Mereka bahagia dalam satu dunia, dunia yang mereka bentuk sendiri oleh sebuah cinta yang fana, yang tak dapat dilihat namun dapat dirasakan.
Malam ini mereka akan pergi kesebuah tempat di kota, sebuah tempat yang penuh cahaya-cahaya lampu. Cinta mereka semakin kuat bagai baja yang sukar dihancurkan, sebening embun dipagi hari dan seindah matahari terbenam di barat.
mau kemana ? “ tanya Nana melihat Carlie mengendarai motor besarnya yang menjemput wanita itu.
kau akan segera tau nanti Na. “ ucap Carlie. Nana tersenyum, ia percaya kepada laki-laki itu.
Dalam dinginnya malam, sebuah kehangatan terpancar dalam diri mereka. Suhu seperti ini tak membuat mereka gundah. Dingin pun kalah akan hangatnya cinta mereka. Carlie mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, tak ingin membuat wanita yang memeluknya khawatir dan takut saat berada diatas motornya ini. Mereka nikmati nuansa malam yang indah dengan ribuan bintang menghiasi langit dan bulatnya bulan bak tersenyum kepada mereka. Namun, indahya malam berubah menjadi kelam. Semua bak memudar dan hilang. Motor yang mereka tumpangi tergelincir, dengan cepat motor tersebut terjatuh dijalan raya yang ramai. Nana terjatuh dari motor tersebut, namun carlie tak datang berkutik, ia masih bertahan dalam pegangannya dan kepalanya terbentur palang pinggir jalan.
Masih berkunang-kunang ia rasakan, matanya terbuka jelas. Ia menghampiri Carlie dipinggir sana. “ Carlie !! “ teriak wanita itu. Ia melangkah cepat menghampiri kekasihnya itu. Darah segar mengalir dikepalanya. Ia melihat kekasinya yang tak berdaya. “ Carlie kamu.. “ ucapnya lirih merasakan darah yang terus mengalir.
tak apa Na.. aku baik-baik saja. “ ucapnya terbata.
kau tak baik Lie, ambulan akan segera datang. “ Ujar Nana terisak tangis.
mereka akan terlamat. Tak apa Na.. aku tak butuh mereka, kamu sudah disini sudah membuatku tertolong. Aku ingin mengatakan jika kamu benar-benar telah mengubah hidupku lebih indah. I love you. Aku bahagia Na. Kamu juga harus bahagia. “ ucap Carlie lirih dan terbata-bata. Waktu tak memperbolehkan laki-laki terus melihat wanita lebh lama. Ia menutup mata perlahan, melihat Nana yang ia cintai harus berlinang air mata melihatnya begini. “ jangan menangis Na.. “ ucap laki-laki itu untuk terakhir kalinya. Nana tak bisa berhenti menyuarakan tangisannya. Ia terus memanggil nama laki-laki itu, berharap ia kembali ke dunia. Ia menangis sampai terasa sesak di dada. Namun apa daya, Tuhan telah memiliki takdir untuk Carlie. Takdir yang tak bisa diubah lagi. Hanyalah keiklasan dan tangisan yang tersisa.

Kini Nana telah lulus dan kuliah di kota, memang tempat ia kuliah dengan rumahnya jauh. Namun baginya tak apa, di rumahnya ia bisa melihat matahari sesukanya. Nana duduk termenung di jendela kamarnya dengan lulut yag ia peluk. Sembari menunggu matahari dilahap bumi dan ribuan bintang menghiasi langit.
Ia masih ingat dengan malam itu, sudah satu tahun. Namun, kejadian itu serasa baru kamarin. Kini ia nikmati matahari terbenam sendiri, sendiri tenggelam dalam sebuah kenangan. Matahari yang hanya bisa membuatnya tersnyum tipis selama ini. Bagai dunia runtuh setahun yang lalu. Kadang ia meneteskan air mata lagi, kadang ia merasa ini salahnya dan berkhayal laki-laki yang ia cintai ada disampingnya.

Suatu pagi, Nana sedang berada di sebuah kantin kampus. Ia duduk sendiri menatap bukunya. Hidupnya bak hancur sendiri, tlah jatuh ke jurang yang dalam tanpa cahaya sedikitpun. Hanya berdiam diri dalam dunianya sendiri. “ maaf, apa saya boleh duduk disini. “ kata seorang laki-laki meminta izin kepada Nana yang sibuk dengan buku. Nana hanya memberikan isyarat dengan anggukan kepala tanpa melihat orang itu.
maaf, namaku Rohan. Nama kamu ? “ tanya lagi laki-laki itu yang tlah membuka buku tebalnya.
namaku Nana. “ ujar Nana tanpa melihat laki-laki lagi.
apakah kamu selalu seperti ini ? jika saat ada orang bertanya tidak memandang wajah orang itu ? “ sindir laki-laki itu.
maaf, namaku Na.. “ ucapannya terhenti dikala melihat wajah laki-laki itu. Matanya membuka dengan malut yang sedikit menganga. Tanpa kedipan tanpa suara. Apakah ini nyata ?.
Na.. ? “
Nana. “ ucap lirih wanita itu.
senang bisa berkenalan denganmu Nana. “ ujar Rohan dengan senyumannya.
Masih tercengang melihat laki-laki yang duduk bersama dirinya. Mata.. hidung.. alis.. bibir.. wajah yang sama dengannya. Suara yang mirip dengannya. Hanya senyumannya berbeda. Apakah ini nyata ? apakah aku bermimpi ? apakah aku berkhayal lagi ?.
Nana masih memandangi laki-laki itu. Ia tak bisa melepaskan wajah itu. Wajah yang ia rindukan dari dulu dan sudah setahun ini.
Carlie.. “ kata Nana lirih. Namun, suaranya bisa terdengar oleh Rohan disana.
apa ? maaf.. tadi kan aku sudah bilang namaku Rohan. Kau lupa ? “
apa ? oh maaf.. aku kira.. “
ya ? “
tak apa. “
aku harus pergi. Ingat.. namaku Rohan. OK. “ kata laki-laki itu dengan suara ringan. Nana masih memandangi laki-laki itu.

Hari ini, Nana akan pulang malam. Ia masih didalam perpustakan. Jika ia akan pulang malam, saat sore hari ia akan berada di perpustakan lantas paling atas untuk melihat matahari terbenam. Baginya, menyaksikan hal itu harus.
hai Nana. “ sapa Rohan. Nana menoleh dan menatap wajah itu lagi. Laki-laki melihat keluar jendela.
kamu suka matahari terbenam ya ? “ tebak Rohan. Nana hanya bisa mengangguk iya.
kalau begitu kita sama. “ kata Rohan.
apa ? “
hanya saja aku lebih suka melihatnya di atas gunung. “ terang Rohan.
kamu pernah lihat matahari di atas gunung ? “ lanjutnya. Nana lagi-lagi tak bisa berucap hanya isyarat kepala yang ia lakukan.
kalau begitu kamu hanya mencobanya. Mau ? besok sabtu aku akan naik gunung, mau ikut ? “
kamu mengajakku ? kita kan baru kenal kemarin. “
kenapa ? kamu takut ? “ tanya Rohan dengan senyumnya.
tidak. Hanya saja aneh. “
maaf. “ kata Rohan.
tidak perlu. Aku ikut. “ ujar Nana mantap. Ia berkata seperti ingin tahu tentang laki-laki ini, ingin bersama laki-laki yang memiliki wajah yang sama dengan laki-laki yang ia cintai. “ baiklah. Ini nomor telfonku. Besok sabtu aku tunggu jam delapan pagi. “ ujar Rohan dengan senyumnya lagi.
Mereka mendaki berdua. Rohan selalu menjaga wanita yang baru ia kenali ini. Dan Nana entah mengapa selalu percaya kepada laki-laki yang baru ia kenal kemarin bahkan laki-laki yang membuatnya teringat dan rindu kepada Carlie. Mereka menunggu matahari terbenam diatas gunung. Demi matahari terbenam, Rohan menyempatkan diri untuk naik ke gunung.
jika biasanya kamu lihat matahari terbenam di pantai, kamu melihat matahai tenggelam diperariran. Jika kamu melihatnya disini, serasa tenggelam dalam gumpalan awan. Benar ? “ terang Rohan. Nana hanya bisa mengiyakan, karena memang betul. Ini pertama kalinya ia melihat matahari terbenam diatas gunung.

Rohan dipertemukan kepada Nana bak sebuah kesempatan bagi Nana untuk bertemu Carlie. Dan itu membuat Nana bersyukur. Mereka bertambah dekat, berteman dalam satu kampus. Wajah dan suara sama serta kesukaan yang sama pula, matahari terbenam. Ia merasa bisa bangkit kembali, bak bisa memanjat keluar dari jurang yang dalam tanpa cahaya, melihat sebuah cahaya dari Rohan. Sudah sekian lama akhirnya berteman, Nana selalu mencari kesamaannya dengan Carlie. Dan kini ia sadar jika Rohan dan Carlie itu berbeda. Ia sadar keterpurukan akan masa lalu yang membuatnya terhenti. Hidup dalam masa lalu hanyalah membuag waktu. Hal itu harus hilang darinya.
Ia harus iklas oleh kepergian Carlie dan meneruskan hidup bahagia di dunia. Ia bersyukur bisa bertemu Rohan yang bisa menariknya dari keterpurukan dan menyadarkan dirinya. Tuhan, terima kasih atas apa yang telah Engkau berikan. Terima kasih telah mempertemukanku dengan laki-laki ini, laki-laki yang dapat menarikku dari masa lalu yang terus membuatku terpuruk.

selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar